“Tidak,” jawab saya, ketika seorang teman menawarkan sebuah jaket kulit hitam kepada saya. Dikatakan oleh teman tersebut, jaket itu diperolehnya dari kakaknya yang “pulang kampung” dan bekerja di Dubai. “Ini asli adanya di mal-mal Dubai yang terkenal itu,”teman saya merayu. Sekali lagi saya menggelengkan kepala, kendati setelah melihat dan meraba sendiri jaket itu, memang benar-benar bagus dan “asli.”
Saat saya di Belanda untuk studi beberapa waktu yang lalu, salah satu celah yang selalu saya ambil adalah window shopping. Kebetulan tempat tinggal saya di Hilversum, “Hollywood” nya Belanda dan cukup dekat dengan kompleks perbelanjaan. Koleksi pakaian, termasuk jaket juga bagus. Apalagi untuk pertama kalinya sedang ditawarkan mode untuk musim dingin. Kemudian saya melihat salah satu koleksi yang ditawarkan adalah apa yang dikenal sebagai “jaket bulu angsa.” Sebuah jaket dengan fisik tipis tetapi begitu hangat saat dipakai. Harganya pun, menurut saya termasuk terjangkau. Namun karena saya tidak berminat terhadap yang namanya “jaket”, cukuplah selama di Belanda saya menggunakan pakaian hangat yang saya bawa dari Indonesia.
Nah kembali ke jaket kulit hitam tadi, saya tidak mempunyai pretensi apa-apa hanya memang tidak menyukai mode-mode jaket. Dari literatur saya memperoleh informasi, bahwa sebelum dekade 1950-an “pria baik-baik” tidak pernah mau mengenakan jaket kulit hitam, apalagi yang berwarna hitam, karena busana itu identik dengan kejahatan. Para pembunuh, perampok, preman, dan sebagainya apda era itu mengenakan jaket kulit dalam setiap aksinya. Selain itu, pada tahun 1930-an jaket kulit hitam identik dengan “kelas bawah” karena digemari kuli pelabuhan, supir truk, dan kuli bangunan.
Marlon Brando, yang menjadi idola anak-anak muda, sempat menggegerkan Inggris karena filmnya yang berjudul “The Wild One” (1954) dilarang edar di sana. Film itu dianggap mendorong anak-anak berbuat liar, dan lebih-lebih Brando memeranka karakter dengan mengenakan jaket kulit hitam. Bahkan, stasiun televisi ABD di Australia melarang penggunaan jaket kulit hitam untuk ditayangkan dalam acara anak-anak Happy Days (1973).
Tetapi polisi juga memakai jaket kulit hitam seperti itu. Seragam polisi di New York City diubah menjadi warna biru dari bahan nylon (1981). Walikota Koch dan Kepala Kepolisian Maguiore berusaha mengubah citra polisi supaya terkesan dekat dengan masyarakat. Caranya: mengubah cat mobil patrol warna hitam menjadi biru muda dengan garis putih. Jaket kulit hitam dilarang dikenakan oleh aparat kepolisian yang menggunakan sepeda motor.
Orang yang memakai jaket kulit hitam di Jerman dianggap sebagai orang-orang brutal. Tetapi pada Perang Dunia I (1914-1918), para pilot Jerman dan Inggris juga menggunakan busana ini tetapi dilarang sejak 1950-an. Dalam sebuah buku berjudul “The Black Leather Jacket” yang ditulis oleh Mick Farren, seorang jurnalis Inggris dan diterbitkan tahun 1985, dicertiakan abhwa Adolf Hitler juga merasa lebih jantan dan gaya dengan busa jaket kulit hitamnya. Buku Farren tersebut terbagi ke dalam bab-bab seperti “Legendary Leather”, “German Influence”, “Golden Idols”, “Teenage Dream”, “Smut By Numbers”, “The New Barbarian”, dan “Savage Skin.” Keseluruhan uraian dalam bukun ini mengatakan: dalam kebudayaan Barat, jaket kulit hitam lekat dengan keburukan.
Tetapi seiring dengan perkembangan waktu, media kemudian memberikan imaji yang lain mengenai jaket kulit hitam ini. Pada tahun 1950-an, majalah Life dan Look digemari oleh banyak keluarga di Amerika. Di tahun-tahun itu, di kota-kota besar sudah ada 2-3 stasiun televisi. Lewat sajian media cetak dan elektronik inilah, gambaran mengenai jaket kulit hitam kemudian diubah. Pakaian inik emudian diterima semua kalangan, dari kalangan atas sampai bawah, dari orang “baik-baik” sampai yang dicap “jahat.” Penampilan Elvis Presley yang mengenakan busana kulit dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki di televisi NBC (1969) membuat busana jenis ini semakin digemari. Penyanyi almarhum Michael Jakson pernah tampil mengenai jaket kulit warna merah dikombinasi hitam untuk iklan Pepsi Cola.
Jaket kulit kemudian tak lagi berkesan seram meski kesan “macho” tetap melekat. Warna jaket pun akhirnya tidak hanya hitam, akan tetapi lebih variatif seperti warna cokelat maupun krem. Para desainer dewasa ini berlomba-lomba mendesain busana dengan inspirasi jaket kulit hitam. Jaket kulit hitam yang pada awalnya merupakan mode busana untuk para bad boys berubah menjadi mode yang gaya di catwalk dan ditiru oleh para penggemar mode. Pakaian ini memberikan citra tersediri: sensual, macho, dan glamor.
Meskipun simpel, jaket kulit tetap berkesan glamour karena jaket yang terbuat dari anak kulit domba yang lembut memang relatif sangat mahal.
http://m.kompasiana.com/post/urban/2013/05/06/jaket-kulit-hitam-awalnya-dianggap-pakaian-penjahat/
Jaket Kulit Hitam, Awalnya Dianggap Pakaian Penjahat
Oleh: Mas Isharyanto | 06 May 2013 | 15:55 WIB
Jaketnya bagus