Duck hunt
HomeBlog Okta AdityaAbout me
Jumlah pengunjung total blog :373073
United StatesUnited States
Visual mobile site building tool1108Unknown
My Acount Facebook

My Acount Twitter

Follow @AdityaEmail_


International News Latest


Google News

Source: Google news


Top News CNN

Source: CNN



BLOG NYA OKTA ADITYA

Teraktual, Menarik, Bermanfaat, dan Terinspirasi dalam mengabarkan segala opini, ide, gagasan maupun berbagai macam pengalaman dari berbagai kalangan. Blog yang terpercaya rekomendasi Google.


Semula saya membuat blog ini dari awalnya hanya ingin menulis tentang pengalaman, pandangan, opini dan gagasan saya pribadi.

Lantas, setelah saya sering membaca berbagai opini dan gagasan para penulis lainya yang sangat inspiratif dan sangat bermanfaat, saya tergerak untuk mengeshare di blog saya, bertujuan agar sebagai catatan berguna suatu saat untuk saya sendiri dan semoga bermanfaat juga bagi siapa yang berkunjung di blog saya ini.

Semua konten rata-rata berasal dari situs http://kompasiana.com konten tulisan yang asli dan unik dari para member kompasiana, Kompasiana menyediakan sebuah wadah yang memungkin setiap pengguna Internet membuat konten berita, opini dan fiksi untuk dinikmati oleh para pengguna Internet lainnya.

Walhasil, sekitar 800 konten dalam bentuk tulisan dan foto mengalir di Kompasiana. Konten-konten yang dibuat warga juga cenderung mengikuti arus positif dan bermanfaat karena Kompasiana akan memoderasi konten-konten negatif selama 24 jam.

Nah, dari berbagai tulisan itulah saya menyaring beberapa tulisan yang saya kira wajib untuk saya simpan sendiri, sudah barang tentu tulisan yang aktual, inspiratif bermanfaat dan menarik.

Sebagai sebuah media, Kompasiana cukup unik. Karena dari sisi konten, media berslogan “sharing connecting” ini mengelola konten-konten di dalamnya layaknya sebuah media berita yang selama ini hanya diisi oleh wartawan dan editor media massa. Tapi dari sisi User Interface maupun User Experience, Kompasiana merupakan media sosial yang menyajikan dua fitur utama sekaligus, yaitu fitur blog (social blog) dan fitur pertemanan (social networking).

Itulah yang membuat Kompasiana melejit cepat menjadi website besar hanya dalam kurun waktu empat tahun. Bila sekarang Anda mengecek posisi Kompasiana di pemeringkat website Alexa.com, Anda akan melihat peringkatnya berada di posisi 30 (pernah berada di posisi 29, kadang turun ke posisi 32) di antara website-website yang diakses di Indonesia.

Di kategori website media sosial, Kompasiana berada di posisi ke-8 setelah Facebook (1), Blogspot.com (4), YouTube (5), Wordpress (7), Kaskus (9), Blogger.com (11) dan Twitter (12). Sedangkan di kategori website berita dan informasi, media warga ini berada di posisi ke-4 setelah Detik.com (8), Kompas.com (12) dan Viva.co.id (19). Posisi ini cukup kuat, karena di bawah Kompasiana masih ada Okezone.com (33), Kapanlagi.com (35), Tribunnews.com (40), Tempo.co (47), dan media massa besar lainnya.

Ke depan, dengan semakin besarnya euporia masyarakat Indonesia dalam menggunakan internet dan media sosial, serta semakin besarnya pengakses internet lewat ponsel, Kompasiana mendapat tantangan besar untuk terus meningkatkan kinerjanya. Tantangan itu hanya bisa dijawab dengan menghadirkan enjin yang lebih stabil, lebih andal, lebih nyaman, lebih terbuka dan lebih sosial. Juga harus dihadapi dengan kesiapan insfrastruktur yang lebih besar dan kuat. Dan itulah yang sedang berlangsung di dapur Kompasiana jdi awal 2013.



Bagi yang suka ide gagasan, alasan, ulasan dan opini yang dekstruktif, dijamin tidak akan kecewa membaca tulisan kompasianer yang saya share di balik konten saya dibawah ini,

Selamat membaca, Semoga bermanfaat walau tidak sependapat,
Konten dan artikel selengkapnya klik tautan ini.,
Artikel dan Konten Blog :

Tags: muda, Teknologi

Manusia

Menjadi Manusia

Sebut saja namanya Pletho. Remaja berusia kurang lebih 16 tahun ini berkeliaran di jalanan, bersama sekitar 24 orang temannya tinggal dan mencari nafkah di sekitar Jl. Mangkubumi hingga perempatan Tugu Yogyakarta. Julukan untuk mereka cukup eksotis, dalam rangka menaikkan derajat kita sebagai manusia normal, serta memarjinalkan mereka, lantas kita menyebut mereka “anak jalanan.” Anak-anak yang tinggal di jalanan. Konon mereka tidak menjadi manusia karena tinggal di jalanan, sedangkan kita yang punya standar hidup (yang kita anggap normal) sesuai jaman sekarang mengganggap diri kita berhasil menjadi manusia.

Memang parameter untuk menjadi manusia itu seperti apa sih? Jika dinilai secara kasat mata, asalkan dia berkaki dua dan berjalan tegak dan berpakaian bukankah itu manusia? Anak-anak kurang beruntung yang berkeliaran di seputaran Tugu Jogja itupun adalah manusia. Tapi pernahkah kita menilai mereka sebagai manusia? Saat kita memburu eksotisme Jogja dengan berfoto di tugu, pernahkan kita memperhatikan mereka sebagai manusia?

Kemudian saya teringat piramida kebutuhan Abraham Maslow, maka parameter menjadi manusia adalah puncak tertinggi piramida itu yakni kebutuhan aktualisasi diri, berbeda dengan binatang yang kebutuhan dasarnya untuk mempertahankan diri adalah dengan makan dan kawin saja. Dan mendadak gaya hidup modern adalah kebutuhan aktualisasi diri tersebut. Semua orang mengejar kehidupan modern agar dianggap hidup normal. Semua orang mengaktualisasi dirinya modern dengan mengejar setiap trend kehidupan modern. Kelas atas menggunakan aktualisasi diri modern itu untuk melanggengkan posisinya sebagai kasta tertinggi, kelas menengah mengejar aktualisasi diri modern itu untuk berupaya menaikkan derajat menjadi kelas atas, sedangkan kelas bawah terseok-seok mencoba mengejar ketertinggalan, berusaha sekuat tenaga mengaktualisasikan diri secara modern agar dianggap sebagai manusia.

Maka Pletho dan kawan-kawan senasibnya berusaha keras agar dianggap manusia, sekalipun kehidupannya keras dan tinggal di jalanan, ia berusaha mengabaikan fakta bahwa kebutuhan dasarnya sebagai manusia untuk memiliki sandang, pangan, papan, belum terpenuhi. Karena Pletho ingin menjadi manusia, ia harus mengikuti standar modernisasi agar menjadi manusia, maka ditengah kesibukannya mengejar manusia lain dengan gitar kencrung mengharap recehan, atau beberapa rekannya akan menadah gelas bekas mie instan di lampu merah, mereka akan menghabiskan uang tersebut untuk menuju warnet dan mengakses Facebook dan Twitter. Ya, karena Facebook mereka anggap satu-satunya cara agar mereka juga dapat mencicipi standar hidup modern manusia.

Mengakses Facebook 5 jam sehari menjadi biasa bagi mereka, jatah makan terpaksa disunat sedikit untuk mengakses situs Mark Zuckerberg tersebut. Dalam benak Pletho dan kawan-kawan tentu tersirat “aku tak punya rumah tinggal, lalu untuk apa kuhabiskan waktuku di Facebook? Ah, tapi inilah cara agar aku menjadi manusia seperti yang lain.” Selain menghabiskan waktu di Facebook, rata-rata anak-anak yang tinggal di Jl. Mangkubumi ini memiliki telepon genggam. Tanpa henti mereka memencet tutsnya untuk sms-an atau malah menelpon rekannya yang berada di tempat lain. Mereka juga akan membelanjakan uangnya di minimarket biru atau merah, sekadar membeli air mineral atau rokok (dengan tatapan sinis penjaga minimarket yang barangkali berpikir aduh bajunya kucel anaknya kotor, ngapain masuk kesini). Karena manusia modern gemar membelanjakan uangnya juga di minimarket yang lebih bersih dan elegan ketimbang warung sederhana milik tetangga.

Inilah kejanggalan menjadi manusia, kita yang lebih beruntung memiliki rumah tinggal dan tak pusing memikirkan bagaimana makan siang lantas mengurung diri kita dalam kungkungan modernisasi (hayoh siapa yang tak memiliki Facebook, Twitter dan telepon genggam? Apakah anda menganggap menguasai teknologi itu? Atau teknologi itu yang menguasai anda?). celakanya kita lantas menjadikan kungkungan modernisasi itu sebagai standar hidup menjadi manusia. Dan anak jalanan yang kemanusiaannya sudah diabaikan dengan terpaksa tinggal dijalanan, akhirnya terseok-seok berupaya menjadi manusia dengan menghabiskan uangnya di warnet-warnet untuk sekedar memberi jempol “like” pada status teman Facebooknya, teman yang barangkali tak benar-benar dikenalnya. Mereka harus melupakan fakta bahwa mereka tak punya rumah, harus berantem dengan kelompok anak jalanan lain untuk berebut wilayah, harus lari tiap Satpol PP datang menangkap (dengan alasan pembinaan). Harus meminta uang pada orang asing untuk dapat membeli makanan, harus ngelem agar mabuk dan melupakan realita.

Tapi kemudian saya berpikir, jangan-jangan Pletho dan kawan-kawan anak jalanan sadar bahwa mereka dilupakan masyarakat modern? Maka mereka Facebook-an dan bertelepon genggam ria untuk melupakan fakta bahwa mereka manusia terlupakan. Itu adalah penghiburan diri, benteng terakhir mereka menghadapi kerasnya hidup di jalanan. Renungan panjang ini membuat saya mengernyit jengah, betapa menyedihkannya menjadi manusia modern. Yang berkecukupan Facebook-an dan Twitter-an untuk bersenang-senang dan melupakan kelas dibawahnya, sedangkan kelas bawah Facebook-an dan Twitter-an untuk berusaha menaikkan kelas, dan melupakan fakta bahwa mereka dilupakan dan tak dianggap manusia.

Yogyakarta, 9 februari 2012.

Aris Setyawan: Penulis adalah mahasiswa jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan. Bermain drum untuk Aurette and the Polska Seeking Carnival, penggila kucing, penggiat peduli anak jalanan di Save Street Child Jogja, kutu buku poll-poll-an, berharap semoga satu hari Radiohead konser di Indonesia

http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2013/02/09/menjadi-manusia/

Menjadi Manusia

Oleh: Aris Setyawan | 09 February 2013 | 00:59 WIB.

Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE

Tinggalkan Pesan Chat
Chat-icon 1







Online saat ini : 1 orang, hari ini: 1108 orang, minggu ini: 4044 orang, bulan ini: 14710 orang, total semuanya: 373073 orang
, United StatesUnited States,claudebot