Saya bukanlah orang yang sering ke Luar Negeri. Baru Inggris dan Turki negara yang saya kunjungi. Tapi beberapa kali naik pesawat menggunakan maskapai Indonesua dan maskapai berlabel luar Indonesia memang beda.
Saya lupa kapan saya pertama naik pesawat. Tetapi waktu itu saya naik pesawat bersama teman kantor. Waktu itu perjalanan dari Solo-Jakarta.
Kesan pertama saya, bagus. Ada beda memang ketika boarding pesawat dengan ketika mengantri naik bus. Tidak ada istilah ‘dusel-duselan’ alias berebut akan naik terlebih dahulu. Penumpangnya rapi. Ya jelas, karena naik pesawat dijamin tidak akan berdiri. Jadi tidak ada yang khawatir tidak kebagian tempat duduk.
Ketika naik pesawat bersama anak-anak juga saya melihat penumpang lainnya antri rapi. Bagi kami yang membawa anak-anak kecil terasa sangat nyaman, karena anak-anak tidak perlu diajak ikut berebut antrian ketika boarding. Kenyamanan antri ini tidak hanya saya rasakan ketika naik pesawat maskapai andalan Indonesia, tetapi juga maskapai milik swasta.
Tetapi ternyata kenyamanan antri ketika boarding pesawat domestik ada yang mengungguli. Ya, boarding pesawat ketika akan melakukan perjalanan ke Luar Negeri lebih nyaman. Ini saya sadari perbedaannya pertama kali ketika melakukan perjalanan Jakarta-Inggris. Maskapai yang kami naiki bukan milik Inggris, tetapi milik negara di Timur Tengah. Hitungannya termasuk pesawat murah dibandingkan maskapai milik Singapura, Inggris, Belanda dan Australia. Tetapi kenyamanannya jauh melebihi maskapai andalan Indonesia.
Pengalaman pertama kami ketika melakukan perjalanan ke luar negeri bersama keluarga, begitu masuk ruang tunggu, ada petugas yang mencari penumpang yang membawa anak-anak. Saya waktu itu tidak mengerti mengapa kami yang membawa anak-anak dipanggil dan diminta duduk di depan. Tidak lama saya dengar ada pengumuman penumpang kelas bisnis dipersilahkan masuk. Tapi kemudian ada petugas yang memanggil kami dan meminta kami segera masuk ke pesawat. Hmm…rupanya kami diutamakan bersama penumpan yang bayar mahal itu karena kami membawa anak-anak.
Transit di Dubai juga begitu, kami didahulukan. Kami jadi merasa nyaman.
Ketika saya kembali ke Indonesia dan kembali lagi ke Inggris bersama anak ragil saya juga mengalami hal yang sama. Begitu juga ketika melakukan perjalanan ke Istambul bersama anak-anak beberapa waktu lalu. Kami didahulukan ketika boarding. Ya, anak-anak (beserta orangtuanya tentunya) dan para disable selalu diutamakan naik pesawat terlebih dahulu.
Beda halnya ketika di Indonesia.
Saya pernah naik pesawat bersama anak ragil dari Surabaya ke Jakarta. Tidak ada istilah penumpang yang membawa anak-anak didahulukan ketika boarding. Malah saya harus siap-siap berdesakan dengan penumpang lain yang kadang mulai ‘nakal’. Saya membawa tas ransel sambil menggendong anakpun sempat terdesak maju gara-gara yang antri belakang tidak sabar.
Tetapi memang ada sedikit berbeda jika akan naik maskapai andalan Indonesia. Sebelum naik pesawat sudah ada pengumuman bahwa nanti penumpang aturannya begini begitu. Termasuk disebutkan bahwa penyandang cacat dan penumpang yang membawa anak didahulukan. Saya mendengarnya cukup lega.
Eh, begitu akan naik, tidak ada penumpang yang mengidahkan itu. Saya mau pasang badan untuk mendahului penumpang lain karena merasa membawa anak jadinya tidak berani. Nanti malah dikira menyerobot dan tidak tahu sopan santun. Yang saya lakukan hanya menunggu kebijakan petugas saja. Petugasnyapun juga cuek. Mau saya berdesakan mengantri bersama penumpang lain juga tidak peduli.
Kadang lucu juga ketika melihat antrian penumpang pesawat yang masih saja berebut dan terkesan terburu-buru naik pesawat. Sudah jelas dapat tempat duduk, tetapi tetap saja tidak mau mengantri. Mau ditinggal pesawat, tidak mungkinlah, toh sudah sudah jelas mengantri akan naik pesawat.
Saya melihat ini karena sistem belum dibangun dengan baik. Masyarakat belum tahu banyak tentang etika boarding. Apalagi budaya menganti bangsa kita masih belum bagus. Meski sudah ada pengumuman bahwa disable dan penumpang yang membawa anak-anak didahulukan, tetapi tidak ada ketegasan dari petugas, para penumpang juga dengan seenaknya sendiri akan mendahului orang yang membawa anak atau disable.
Jadi, dibutuhkan sistem yaitu aturan-aturan ketika boarding (naik pesawat) terutama masalah pengutamaan disable dan penumpang yang membawa anak-anak. Ini harus disepakati oleh semua maskapai penerbangan. Sehingga ada aturan yang seragam dan ini akan melatih pembiasaan. Kemudian dilakukan pengawasan oleh petugas, terutama di awal-awal. Ini untuk mencegah adanya orang-orang yang mau nekat menyerobot antrian atau tidak mau tahu dengan disable atau penumpang yang membawa anak. Teguran dari petugas bisa jadi cambuk yang mungkin membuat dia merasa malu dan tidak mengulangi lagi.
Budaya antri ketika boarding pesawat menurut saya merupakan hasil dari sistem. Mereka ketika boarding pesawat dengan sendirinya mau antri rapi. Karena memang aturannya begitu. Coba saja berebut, akan banyak mata memandang. Dipandangi orang tentu saja tidak nyaman bukan. Itu jika hanya dipandangi saja, jika di kepala orang-orang yang memandang itu muncul banyak istilah, seperti membatin ‘ndeso’, ‘katrok’, ‘tidak tahu malu’, ‘tidak punya sopan santun’ dan lain sebagainya. Itu jika hanya dibatin, bagaimana jika sampai ada yang mengucapkannya. Malu bukan? Makanya kemudian ‘terpaksa’ mau antri. Namun, ketika mereka keluar dari bandara dan kemudian mengantri naik bus atau menunggu taksi, saya tidak yakin akan bersabar mengantri. Karena aturan main naik taksi juga tidak jelas, apalagi naik ke dalam bus.
PS: Ide tulisan muncul setelah membaca artikel Pak Reflusmen di Antri Donk
http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2013/03/09/etika-ketika-akan-naik-pesawat/
Etika Ketika Boarding Pesawat
Oleh: Septin Puji Astuti | 09 March 2013 | 00:23 WIB