HomeBlog Okta AdityaAbout me
Jumlah pengunjung total blog :761339

Landing page builder1355Mozilla
My Acount Facebook

My Acount Twitter

Follow @AdityaEmail_


International News Latest


Google News

Source: Google news


Top News CNN

Source: CNN



BLOG NYA OKTA ADITYA

Teraktual, Menarik, Bermanfaat, dan Terinspirasi dalam mengabarkan segala opini, ide, gagasan maupun berbagai macam pengalaman dari berbagai kalangan. Blog yang terpercaya rekomendasi Google.


Semula saya membuat blog ini dari awalnya hanya ingin menulis tentang pengalaman, pandangan, opini dan gagasan saya pribadi.

Lantas, setelah saya sering membaca berbagai opini dan gagasan para penulis lainya yang sangat inspiratif dan sangat bermanfaat, saya tergerak untuk mengeshare di blog saya, bertujuan agar sebagai catatan berguna suatu saat untuk saya sendiri dan semoga bermanfaat juga bagi siapa yang berkunjung di blog saya ini.

Semua konten rata-rata berasal dari situs http://kompasiana.com konten tulisan yang asli dan unik dari para member kompasiana, Kompasiana menyediakan sebuah wadah yang memungkin setiap pengguna Internet membuat konten berita, opini dan fiksi untuk dinikmati oleh para pengguna Internet lainnya.

Walhasil, sekitar 800 konten dalam bentuk tulisan dan foto mengalir di Kompasiana. Konten-konten yang dibuat warga juga cenderung mengikuti arus positif dan bermanfaat karena Kompasiana akan memoderasi konten-konten negatif selama 24 jam.

Nah, dari berbagai tulisan itulah saya menyaring beberapa tulisan yang saya kira wajib untuk saya simpan sendiri, sudah barang tentu tulisan yang aktual, inspiratif bermanfaat dan menarik.

Sebagai sebuah media, Kompasiana cukup unik. Karena dari sisi konten, media berslogan “sharing connecting” ini mengelola konten-konten di dalamnya layaknya sebuah media berita yang selama ini hanya diisi oleh wartawan dan editor media massa. Tapi dari sisi User Interface maupun User Experience, Kompasiana merupakan media sosial yang menyajikan dua fitur utama sekaligus, yaitu fitur blog (social blog) dan fitur pertemanan (social networking).

Itulah yang membuat Kompasiana melejit cepat menjadi website besar hanya dalam kurun waktu empat tahun. Bila sekarang Anda mengecek posisi Kompasiana di pemeringkat website Alexa.com, Anda akan melihat peringkatnya berada di posisi 30 (pernah berada di posisi 29, kadang turun ke posisi 32) di antara website-website yang diakses di Indonesia.

Di kategori website media sosial, Kompasiana berada di posisi ke-8 setelah Facebook (1), Blogspot.com (4), YouTube (5), Wordpress (7), Kaskus (9), Blogger.com (11) dan Twitter (12). Sedangkan di kategori website berita dan informasi, media warga ini berada di posisi ke-4 setelah Detik.com (8), Kompas.com (12) dan Viva.co.id (19). Posisi ini cukup kuat, karena di bawah Kompasiana masih ada Okezone.com (33), Kapanlagi.com (35), Tribunnews.com (40), Tempo.co (47), dan media massa besar lainnya.

Ke depan, dengan semakin besarnya euporia masyarakat Indonesia dalam menggunakan internet dan media sosial, serta semakin besarnya pengakses internet lewat ponsel, Kompasiana mendapat tantangan besar untuk terus meningkatkan kinerjanya. Tantangan itu hanya bisa dijawab dengan menghadirkan enjin yang lebih stabil, lebih andal, lebih nyaman, lebih terbuka dan lebih sosial. Juga harus dihadapi dengan kesiapan insfrastruktur yang lebih besar dan kuat. Dan itulah yang sedang berlangsung di dapur Kompasiana jdi awal 2013.



Bagi yang suka ide gagasan, alasan, ulasan dan opini yang dekstruktif, dijamin tidak akan kecewa membaca tulisan kompasianer yang saya share di balik konten saya dibawah ini,

Selamat membaca, Semoga bermanfaat walau tidak sependapat,
Konten dan artikel selengkapnya klik tautan ini.,
Artikel dan Konten Blog :

Uang Muka Rumah Sakit

Jumpa pers kronologis kasus Dera di Gedung Dinkes Pemprov DKI Jakarta, tadi siang. Kadinkes Pemprov DKI Jakarta Dien Emawati (kiri) dan Dirjen BUK Kemenkes Prof. Dr. Akmal Taher (kanan).

Tentang kasus bayi Dera Nur Anggraini sebenarnya sudah dikupas habis di berbagai media, baik cetak, online, dan elektronik. Sejak kemarin, hari ini, bahkan besok, dan besok-besok lagi. Cuma, seperti kehausan, masyarakat tetap saja penasaran. Ini mana yang benar sih?

Bagi yang kontra Jokowi, kasus ini tentu dijadikan senjata menjatuhkan dia. Sedangkan bagi pengagumnya, tentu akan membela mati-matian. Saya sih tidak peduli siapa yang pro dan siapa yang kontra. Mau suka atau tidak juga saya tak ambil pusing. Begitu juga tentang tulisan ini. Apapun komentarnya, saya hanya coba menceritakan fakta yang di dapat dari narasumber di lapangan.

Kemarin, saya sudah dapat pernyataan dari Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mereka menyatakan masalahnya bukan terletak pada Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang tidak berfungsi, melainkan minimnya fasilitas ruang dan peralatan khusus bayi yang disebut NICU (Neonatal Intensive Care Unit).

Nah, tadi siang, saya datang ke acara jumpa pers yang digelar Dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta, Kementerian Kesehatan, dan perwakilan 10 rumah sakit yang diduga menolak perawatan Dera, salah satu bayi kembar pasangan Eliyas Setia Nugroho dan Lisa Darawati yang akhirnya meninggal dunia, Sabtu (16/2).

Saya datang ke Gedung Dinkes Pemprov DKI di Jalan Kesehatan, sekitar pukul 11.30 WIB. Berangkat dari Balai Kota naik taksi berdua Erna, seorang rekan jurnalis juga. Sampai lokasi, saya kaget karena tempat preskon-nya sangat sempit. Sempat terjadi kegaduhan karena jurnalis TV saling berebut mengambil tempat. Ibu-ibu PNS yang tadinya duduk di barisan pinggir tepaksa ‘diusir’ untuk memberi tempat bagi kami.

Akhirnya, saya kebagian tempat duduk paling depan. Hadir sebagai narasumber utama yakni Kepala Dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta Dien Emawati dan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Prof. Dr. Akmal Taher, yang dulu menjabat sebagai Direktur Utama RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Jumpa pers baru benar-benar dimulai pukul 11.46 WIB. Kesempatan pertama diberikan kepada Dien yang menjelaskan kronologis kasus hingga klarifikasi pernyataan. Berikut petikan keterangan yang berhasil saya rangkum :

“Kronologisnya bahwa bayi Dera lahir dalam kondisi khusus dan butuh alat yang khusus yaitu Neonatal Intensive Care Unit (NICU), dimana NICU tadi tidak dipunyai oleh RS Zahirah (rumah sakit tempat Dera dilahirkan).

Kemudian bayi Dera tidak pernah meninggalkan RS Zahirah, itu harus clear. Dia nggak pernah kemana-mana, atau dibawa kemana-mana keluar rumah sakit. Dari 8 rumah sakit lalu ditelepon, keluarganya juga datang cari NICU. Dari 8 RS itu, ada yang punya, ada yang tidak. Yang punya, kondisinya penuh.


Jumlah NICU di seluruh DKI hanya 143 buah (bukan 143 RS). Tidak ada hubungannya ditolak karena KJS, karena ada rujukan dàri Puskesmas Pasar Minggu sudah menggunakan KJS. Jadi, aspek pembiayaan tidak ada masalah. Yang bermasalah alat NICU tadi yang tidak ada”.
Setelah Dien selesai, giliran Dirjen BUK Kemenkes Prof Dr Akmal Taher yang memberikan keterangan. Berikut petikan pernyataannya :

“Saya hanya ingin menambahkan, yang perlu diperjelas adalah bayi Dera memerlukan tempat perawatan unit khusus bayi baru lahir (NICU). Nah, ini tidak semua rumah sakit punya. Pas kemarin itu pas penuh. Bahkan, di RSCM itu ada pasien yang antri NICU, terpaksa ditaruh di unit gawat darurat.
Kita klarifikasi, kita panggil semua RS yang disebutkan. Tempat ada apa nggak? Ternyata memang nggak ada tempat. Keadaan bayi ini memerlukan NICU. Saya kira memang ke depan kita perlu siapkan langkah-langkah lain agar sedapat mungkin membantu bayi yang lahir dengan berat 1000 gram. Kita buat sistem operasi lebih bagus.

Logis memang menambah NICU, tapi bukan hanya itu, perlu kesiapan tenaga handal. karena apa? kebutuhannya khusus, dokter anak khusus, juga perawat khusus yg biasa menangani pasien anak. Satu lagi yang mesti diperjelas, kayaknya nggak masuk di akal, masa dari semua RS dikatakan tempat penuh.

Sekali lagi,  yang dicari bukan tempat perawatan biasa, tapi NICU. Dari 8 RS juga tidak ada yang minta uang muka. Memang prosedurnya, di dalam keadaan emergency tidak boleh minta uang muka”.

Jumpa pers tak berlangsung lama, hanya sekitar 30 menit. Saya jadi mendapat informasi yang lebih konkret tentang data dan fakta versi Kemenkes dan Pemprov DKI Jakarta. Okay, dari sini saya menyimpulkan, kendala memang ada pada keterbatasan NICU tadi. Alasan yang menurut saya, logis.

Tapi, kalau pikiran saya berhenti sampai disini, rasanya saya bodoh. Hanya mendengar dari satu sisi penguasa saja. Maka saya putuskan untuk menggali informasi dari keluarga korban.
Saya coba datangi rumah Dera di Jati Padang, Pasar Minggu, tapi sepi. Tetangga di sekitar rumah bilang, ibu Dera dibawa ke RSUD Tarakan karena kondisinya melemah. Untuk memaksa ke RSUD Tarakan sekarang rasanya tak mungkin karena hari menjelang malam. Saya putuskan pulang. Masih ada hari esok kan? Toh, saya penasaran ingin tahu cerita versi korban.

Nah, karena saya keburu ‘nafsu’ menulis cerita ini, saya minta informasi pada seorang kawan dari media cetak ternama, sebut saja namanya Cumi, yang kemarin sempat mewawancarai langsung Lisa Darawati, ibu Dera, di kediamannya.

Cumi bilang (berdasar keterangan Lisa), Dera dan Dara lahir prematur di usia kandungan baru tujuh bulan, melalui operasi caesar. Berat Dera 1000 gram, sedangkan Dara 1450 gram. Dera mengalami gangguan sistem pencernaan dan penyempitan saluran tenggorokan sehingga tidak bisa menelan ASI.

Dokter di RS Zahirah yang merawatnya, mengatakan bahwa Dera dan Dara perlu dirawat di ruangan intensif khusus bayi prematur berisiko tinggi (NICU). Namun, rumah sakit tersebut tidak memiliki NICU sehingga dibuatlah surat rujukan ke rumah sakit lain.

Dengan hanya berbekal surat rujukan dan KTP, ayah Dera, Eliyas, mengaku sudah mendatangi lebih dari 8 rumah sakit, yakni RS Fatmawati, RSCM, RS Harapan Kita, RS St Carolus, RS Pasar Rebo, RS Budi Asih, RS Asri, RS Harapan Bunda, dan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Sayang, tak satu pun sanggup membantu. Beberapa mengatakan NICU penuh, selebihnya tidak tersedia.

Diceritakan seorang kawan yang juga sempat mewawancarai Herman, kakek Dera, proses ‘penolakan’ beragam. Ada RS yang memintanya menunggu lebih dari 2 jam, lalu dibilang penuh. Ada yang langsung ‘menodong’ uang muka (yang ini RS swasta), ada juga yang langsung menolak karena tidak ada ruang NICU. Pada saat mendatangi rumah sakit kedua dan ketiga, mereka sudah membawa surat keterangan tidak mampu.
Dari sedikit gambaran versi korban, saya jadi teringat cerita dimana saya bertengkar dengan petugas RSUD Gunung Jati, Cirebon. Ini terjadi pada 2008 lalu, saat almarhumah nenek saya datang dalam kondisi kesulitan bernapas.

Saat itu saya baru saja lulus kuliah. Sedang menikmati masa ‘menganggur’ di rumah nenek. Mendadak, suatu pagi di bulan Oktober, Mbah Mimi, begitu saya memanggilnya, sesak napas. Kami pikir biasa saja karena sebelumnya pernah seperti itu. Sudah diberi air hangat dan balsem, kondisinya malah makin parah. Jadi tak bisa napas dan sulit bicara. Sontak, kami panik dan segera memanggil ambulans.

Hampir 30 menit menunggu, ambulans tak kunjung datang. Untunglah, ada Pak RW baik hati yang bersedia mengantar si Mbah pakai mobilnya. Sampai rumah sakit, kakek yang biasa saya sapa Mbah Mama, menyodorkan kartu Askes, atau semacam kartu kesehatan bagi pensiunan PNS (saya lupa apa sebutannya) kepada petugas di loket. Sementara Mbah Mimi dikatakan perlu masuk ruang intensive care unit (ICU).

Saat itu perasaan saya campur aduk. Antara cemas, sedih, nggak karuan. Ayah dan ibu saya berada di Jakarta. Di Cirebon, saya ditemani sepupu dan beberapa kerabat. Kami menunggu hampir 1 jam untuk memastikan apakah ada ruang ICU yang kosong. Gregetan juga dengan pelayanan mereka karena nenek saya dalam kondisi kritis.

Tak berapa lama kemudian, petugas loket memberi tahu bahwa ruang ICU penuh. Emosi saya mulai meninggi, saya minta tolong dicarikan ICU di rumah sakit lain. Dicoba ditelepon ke RS Ciremai, juga sama. Semua penuh. Damn!! Saya kesal bukan main. Emosi saya memuncak.
Langsung saja saya damprat petugas sambil menangis, “Heh, mana kepala rumah sakitnya? Saya mau ketemu!”. Petugas berkilah, kepala RS sedang tidak di tempat. Akhirnya, terpaksa saya mengeluarkan kata sakti, “Ayah saya wartawan di Jakarta. Kalau Anda tidak mau mempertemukan saya dengan kepala rumah sakit, saya masukkan koran!” Petugas diam.

Saya kemudian menghubungi ayah, yang memang benar berprofesi sebagai wartawan di sebuah media ekonomi ternama. Kebetulan, ayah saya kenal dengan Kepala RSUD Gunung Jati, yang ternyata kawan semasa SMA. Ayah langsung mengontak dia. Setelah itu, bisa ditebak sendiri.
Saya dipersilahkan ke ruangan Kepala RSUD, dia bilang akan coba membantu, dan dapat. Katanya, ada satu tempat tidur yang kosong di ICU. Nenek saya sempat tertolong, walaupun dua minggu kemudian akhirnya meninggal dunia. Oh ya, biaya perawatan waktu itu sempat didiskon hampir setengahnya. Entah karena mereka takut pada wartawan, atau memang prosedurnya begitu.

Logika saya kemudian bekerja. Bagaimana mungkin, baru saja dibilang petugas kamar ICU penuh, kurang dari satu jam kemudian, katanya ada satu yang kosong. Itu setelah saya katakan bahwa ayah saya wartawan. Ini kan lucu. Kejadiannya mirip dengan kasus Dera dan Dara. Terbukti kan, setelah ramai diberitakan di media massa, Dara, saudara kembar Dera yang masih hidup, akhirnya dapat satu tempat di NICU RSUD Tarakan?.

Jujur saja, peristiwa tentang nenek saya adalah titik balik dimana saya bertekad menjadi wartawan, sama seperti ayah saya. Bukan untuk belagu atau sombong, atau menyalahgunakan profesi. Tidak sama sekali. Ya, berkaca dari pengalaman tadi.
Pernah satu kali, saya punya pengalaman lain saat adik saya kecelakaan dan butuh segera dioperasi. Saya langsung memesan kamar VIP di malam Idul Adha, awal 2005. Pihak RS minta uang muka Rp 15 juta yang saya sanggupi (saat itu ayah ibu pergi haji dan menitipkan sejumlah uang). Proses begitu cepat dan lancar. Pelayanan pun maksimal.
Ini saya tidak membawa embel-embel wartawan karena kondisi darurat. Memilih ruang VIP juga bukan karena saya so’ kaya, tapi lebih karena ingin segera menyelamatkan adik saya dan tidak ingin dipersulit birokrasi rumah sakit. Dalam keadaan saat itu sangat darurat.

Jadi, faktanya, apa yang diceritakan orangtua Dera memang benar terjadi. Karena saya pun pernah mengalami. Tapi, apakah semua rumah sakit demikian? Saya rasa tidak. Jika pada akhirnya pemerintah pusat dan daerah ‘membela diri’, ya ambil saja sisi positifnya. Mereka tak bisa lagi bermain-main dengan kepentingan rakyat. Apalagi, ada media yang mengawasi.

Tidak bijak juga jika kita menimpakan kesalahan hanya pada satu pihak. Toh, ini bukan tentang benar atau salah lagi, tapi bagaimana memperbaiki sistem yang ada agar tidak ada lagi Dera lain menjadi korban. Kalau pemerintah bilang, masalahnya ada pada keterbatasan NICU, ya segeralah ditambah.

Begitu juga birokrasi di rumah sakit yang sangat menyulitkan pasien gawat darurat dari kalangan tidak mampu. Mbok ya ditolong dulu. Masalah biaya, nanti langsung tagih saja sama Pak Gubernur yang berjanji memberi pelayanan kesehatan gratis. Nyawa manusia kan tidak bisa menunggu segepok uang di tangan.

http://m.kompasiana.com/post/sosok/2013/02/19/dera-jokowi-dan-nenek-saya/

Dera, Jokowi, dan Nenek Saya…

Oleh: Firda Puri Agustine | 19 February 2013 | 22:52 WIB

Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE

Tinggalkan Pesan Chat
Chat-icon 1







Online saat ini : 1 orang, hari ini: 1355 orang, minggu ini: 3380 orang, bulan ini: 24571 orang, total semuanya: 761339 orang
, ,Mozilla/5.0 AppleWebKit/537.36 (KHTML, like Gecko; compatible; ClaudeBot/1.0; +claudebot@anthropic.com)

XtGem Forum catalog