Hari ini, ketika masyarakat Indonesia tengah jengah dengan perilaku para pemimpin yang cenderung eksklusif, hedonis, arogan dan korup, gubernur DKI Joko Widodo hadir dengan gaya kepemimpinan yang mempesona.
Tingkat keterpesonaan public (media massa) terhadap sosok mantan Walikota Solo itu begitu tingginya sehingga apa pun yang dilakukan Jokowi, betapapun debatable-nya, selalu dipuji oleh media sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga jadilah dia media darling.
Di tengah-tengah krisis kepercayaan public terhadap para elit di satu sisi, hadirnya sosok Jokowi yang dipersepsi public tanpa cela di sisi lain, wajar bila kemudian muncul anggapan bahwa Jokowi layak dicalonkan jadi presiden pada pemilu 2014.
Apa sesungguhnya kelebihan Jokowi sehingga dia layak digadang-gadang sebagai “satria piningit” yang akan membawa Indonesia menjadi lebih baik: damai, adil, makmur, dan sejahtera?
Sejauh ini, yang menonjol dari Jokowi baru sebatas sukses memanipulasi (persepsi) emosi public berkat pemberitaan terhadap aksi blusukannya sehingga dia dipandang sebagai pemimpin yang sederhana, merakyat, dan aspiratif. Dikatakan sederhana, karena Jokowi sering tampil dengan pakaian sebagaimana yang dikenakan rakyat kebanyakan. Merakyat, karena tidak segan membaur dengan rakyat saat melakukan kunjungan ke lapangan. Aspiratif, karena dianggap mau mendengarkan, menampung aspirasi (gagasan) logis masyarakat.
Pertanyaannya, tentu saja, cukupkah kesederhanaan, kemerakyatan, dan aspiratifnya seorang pemimpin bisa dijadikan jaminan akan terjadinya perubahan yang lebih baik?
Jawabannya tentu saja YA, jika kepuasan masyarakat atas pemimpinnya didasarkan pada filosofi “makan tidak makan yang penting kumpul”. Orang yang filosofi hidupnya seperti itu cenderung mudah terbeli hatinya. Dia akan mudah merasa bangga dan puas bila dikunjungi, disapa, disalami, dibelai (apalagi dipeluk) oleh pemimpinnya. Di mata mereka, pemimpin seperti itulah yang mereka anggap baik itu.
Sebaliknya, akan dijawab TIDAK atau BELUM TENTU oleh masyarakat yang menganut filosofi “kumpul tidak kumpul yang penting makan”. Bagi kelompok ini pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mengubah kondisi social ekonomi masyarakat dengan kriteria terukur dan objektif seperti:
1. bertambahnya jumlah lapangan kerja;
2. meningkatnya pendapataan perkapita penduduk;
3. berkurangnya angka buta huruf dan putus sekolah;
4. meluasnya jangkauan pelayanan kesehatan pada masyarakat;
5. terpenuhinya barang kebutuhan pokok masyarakat dengan harga terjangkau;
6. berkurangnya angka kriminalitas;
7. meningkatnya harga diri bangsa di mata dunia (dalam konteks daerah, kabupaten/kota dan provinsi, bisa diukur dari prestasi putra daerah di tingkat nasional atau internasional). Belum terbukti
Dalam konteks Indonesia saat ini, tentunya, pemimpin yang didamkan rakyat adalah pemimpin yang mampu memperbaiki parameter-parameter kesejahteraan rakyat tersebut. Pertanyaannya sudahkah ada bukti bahwa si Joko ‘media darling’ Widodo berhasil menyuguhkannya, baik ketika dia menjadi Walikota Solo maupun setelah dia memegang tampuk kekuasaan di DKI Jakarta?
Sebagai walikota Solo, Jokowi memang berhasil meraih pengakuan/penghargaan sebagai walikota terbaik dunia (?), tetapi ingat dia sempat dikritik Amien Rais (tokoh nasional warga Solo yang pandangan dan pendapatanya layak kutip). Bila tingkat kesejahteraan masyarakat dijadikan tolok ukur kesuksesan seorang pemimpin maka, menurut Amien Rais, Jokowi belum memberikan perubahan yang siginifikan bagi rakyat Solo.
Bagaimana dengan prestasi Jokowi di Jakarta setelah 4 bulan duduk di kursi puncak DKI? Rasanya, sejauh ini Jokowi baru sukses mengambil hati public lewat berbagai gebrakan populis seperti:
Aksi turun lapangannya (blusukan);
Sidak-sidaknya ke kantor camat dan lurah;
Perintah penggunaan pakaian Betawi untuk seragam PNS;
Rencana-rencana besar yang utopis seperti deep tunnel, mono rail, dan sejenisnya;
Bagi-bagi kartu pintar dan kartu sehat;
Bagi-bagi bantuan (a.n. pribadi) kepada para korban banjir;
Lelang jabatan camat dan lurah.
Buah gerbrakan dan kebijakan Jokowi itu masih menjadi tanda tanya besar: apakah akan berhasil menyejahterakan rakyat DKI atau hanya akan menjadi pepesan kosong belaka. Tentu semua orang akan sepakat bahwa hanya waktu yang bisa menjawabnya, meski entah kapan.
Saat ini yang pasti Jokowi sudah terperangkap di dalam sebuah dilemma. Di satu sisi begitu kuatnya keinginan yang bersangkutan untuk tidak kehilangan pesona/citra populis, tetapi di sisi lain Jokowi berhadapan dengan realitas budaya politik dan kemapanan birokrasi, khususnya di Jakarta, yang belum kondusif. Akibatnya, Jokowi beberapa kali terkesan dan ‘terpaksa’ bersikap dan bertindak inkonsisten.
Tidak (belum?) konsisten
Contoh ketidakkonsistenan Jokowi adalah plin-plannya yang bersangkutan terkait tencana pembangunan 6 ruas jalan toll dalam kota. Saat kampanye, secara tegas Jokowi menolak rencana pembangunan jalan toll tersebut. Belum genap 100 hari menjabat, dia berubah sikap akan menyetujui pembangunan tersebut. Setelah perubahan sikapnya itu dipertanyakan public, dia kembali menegaskan akan mempertimbangkan ulang rencana pembangunan toll tersebut.
Contoh lain, soal penanganan banjir Jakarta januari lalu. Jokowi menghimbau (melarang?) agar partai politik tidak mendirikan posko bantuan korban banjir. Alasannya klasik, jangan menjadikan musibah sebagai ajang kampanye. Tetapi anehnya, yang bersangkutan justru membagikan ber-truk-truk bantuan kepada korban banjir mengatasnamakan dirinya sendiri. Ketika ditanya dari mana asal bantuan tersebut, yang bersangkutan justru menjawab dengan nada tinggi bahwa tidak penting public tahu dari mana asalnya.
Bukankah dengan begitu Jokowi sudah bersikap double standard? Orang lain tidak boleh menjadikan bantuan kemanusiaan sebagai media kampanye, tetapi dia sendiri boleh dan sah-sah saja memberi bantuan atas nama pribadi.
Bukankah sebagai gubernur dia tidak bisa melepaskan diri dari ‘stigma’ pemegang jabatan politik? Terlebih dia adalah kader partai poltik juga?
Terakhir, bukankah Jokowi selalu mendengungkan nyanyian surga pro wong cilik, peduli pada karya anak bangsa (ingat mobil ESEMKA), pembela ekonomi kerayatan? Jika demikian mengapa dalam hal mono rail dia lebih melirik fabrican China ketimbang fabrican local yang ada di Bekasi? Ini semua menggambarkan bahwa Jokowi belum mampu melepaskan jebakan kepentingan politik dari “laci meja” jabatannya.
Blunder kepemimpinan
Aksi (wacana) lelang jabatan lurah dan camat, mundurnya salah seorang kepala dinas dalam pemprov DKI, dan isu akan adanya boikot (mogok?) pegawai terhadap gubernur DKI adalah bukti telah terjadinya blunder kepemimpinan Jokowi.
Lelang jabatan lurah dan camat sejatinya hanyalah versi lain dari “pakta integritas” ala SBY yang digunakan Jokowi. Mengapa seorang kepala daerah setingkat gubernur merasa perlu mewacanakan sebuah rencana kebijakan dengan terminologi birokrasi yang ‘nyeleneh’ dan dipublikasikan luas lewat media massa?
Bukankah mekanisme promosi dan tupoksi jabatan dalam pemerintahan itu sudah diatur dengan jelas dan tegas oleh peraturan dan perundangan yang berlaku? Jika semua peraturan perundangan tentang kepegawaian dan jabatan itu diterapkan dengan baik dan benar oleh seorang kepala daerah maka roda pemerintahan di daerah tersebut pasti akan berjalan dengan baik.
Seorang kepala daerah adalah leader dan manager birokrasi. Sebagai leader dia haruslah menjadi pembina dan pengayom bawahannya. Sebagai pembina dia harus mampu memotivasi, bukan mengintimidasi, sehingga anak buahnya lebih bersemangat dan produktif. Sebagai pengayom dia harus mampu menciptakan keharmonisan dan ketenangan kerja para bawahannya, bukan dengan menciptkan ketakutan-ketakutan lewat ancaman pemecatan atau pelengseran.
Sebagai manager, fungsi kepala daerah adalah penerjemah dan eksekutor peraturan perundangan yang berlaku. Karena itu seorang kepala daerah yang baik adalah yang mampu menjalankan roda birokrasi (organisasi) dan program-program (pembangunan) yang sesuai dengan peraturan perundangan yang brelaku tadi. Bukan mengabaikannya, dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak seuai (apalagi bertentangan) dengan aturan hukum tersebut.
Boleh jadi mundurnya Kepala Dinas Perumahan DKI, Novrizal, dan berhembusnya isu ancaman boikot PNS DKI terhadap Jokowi adalah puncak gunung es dari lemahnya mampuan Jokowi memerankan dirinya sebagai leader dan manajer yang baik.
Jika di tingkat DKI saja Jokowi gagal menjadi leader dan manajer yang efektif dan efisien, bagaimana mungkin dia akan berhasil memimpin Indonesia?
Indonesia terlalu kompleks
Pesaing Jokowi dalam pilgub DKI, Alex Nurdin, pernah menyatakan bila terpilih jadi gubernur DKI maka dia hanya butuh waktu 3 tahun untuk membenahi Jakarta. Keyakinan Alex itu didasarkannya pada simpelnya system birokrasi Jakarta dibandingkan provinsi lain di Indonesia.
Di provinsi lain, kata Alex, kekuasaan gubernur sangat terbatas. Gubernur tak punya garis komando langsung terhadap walikota dan bupati. Inilah yang menyebabkan tidak mudahnya seorang gubernur di daerah menjadi motor pembangunan di wilayahnya.
Sedangkan gubernur DKI memiliki kekuasaan mutlak. Semua kepala dinas, walikota, camat, hingga lurah berada di bawah komando dan kendali langsung gubernur. Itu sebabnya, di mata Alex, adalah tidak masuk akal gubernur DKI Jakarta tidak mampu membuat masyarakat Jakarta menjadi lebih sejahtera.
Intinya adalah, system pemerintahan DKI Jakarta sangat memberi peluang dan menungkinkan gubernurnya bisa unjuk kemampuan memimpin dan menjalankan amanat rakyat dengan baik, efisien, dan efektif. Implikasi pernyataan Alex Nurdin Itu mengandung makna: keberhasilan seseorang (gubernur) memimpin DKI Jakarta belumlah jadi jaminan keberhasilan orang tersebut memimpin provinsi lain.
Bila keberhasilan pemimpin DKI belum bisa dijadikan jaminan sukses memimpin provinsi lain di NKRI, bagimana mungkin kita bisa yakin bahwa Jokowi, yang notabene belum terbukti sukses membenahi Jakarta, akan mampu memperbaiki Indonesia?
Sistem pemerintahan, politik dan hukum Indonesia hari ini jauh lebih rumit dibandingkan Jakarta. Di Jakarta gubernur bisa sesuka hatinya memilih, mengangkat, dan memberhentikan aparaturnya. Sedangkan seorang presiden RI, tak kuasa memilih dan mengankat gubernur, bupati, dan walikota. Untuk memilih dan mengangkat jaksa agung, panglima TNI, bahkan Kaplori pun seorang presiden RI tak punya otoritas penuh, apalagi untuk menetapkan ketua MA, ketua MK, dan ketua KPK.
Penutup
Mengingat Jokowi masih harus membuktikan kemampuan dirinya memperbaiki persoalan kronis Jakarta, maka berikanlah kesempatan dia menyelesaikan kontrak 5 tahunnya di DKI Jakarta.
Bila memang Jokowi adalah satria piningit Indonesia “yang hilang” percayalah dia akan berhasil mengubah Jakarta. Ketika itu terbukti, maka rakyat akan berada dibelakangnya, dan percayalah kursi RI-1 2019 telah menunggu.
http://m.kompasiana.com/post/birokrasi/2013/02/17/terlalu-dini-menggadang-jokowi-jadi-presiden/
Terlalu Dini Menggadang Jokowi Jadi Presiden
Oleh: Kanedi | 17 February 2013 | 15:36 WIB