Old school Swatch Watches
HomeBlog Okta AdityaAbout me
Jumlah pengunjung total blog :366115
United StatesUnited States
Wap builder190Unknown
My Acount Facebook

My Acount Twitter

Follow @AdityaEmail_


International News Latest


Google News

Source: Google news


Top News CNN

Source: CNN



BLOG NYA OKTA ADITYA

Teraktual, Menarik, Bermanfaat, dan Terinspirasi dalam mengabarkan segala opini, ide, gagasan maupun berbagai macam pengalaman dari berbagai kalangan. Blog yang terpercaya rekomendasi Google.


Semula saya membuat blog ini dari awalnya hanya ingin menulis tentang pengalaman, pandangan, opini dan gagasan saya pribadi.

Lantas, setelah saya sering membaca berbagai opini dan gagasan para penulis lainya yang sangat inspiratif dan sangat bermanfaat, saya tergerak untuk mengeshare di blog saya, bertujuan agar sebagai catatan berguna suatu saat untuk saya sendiri dan semoga bermanfaat juga bagi siapa yang berkunjung di blog saya ini.

Semua konten rata-rata berasal dari situs http://kompasiana.com konten tulisan yang asli dan unik dari para member kompasiana, Kompasiana menyediakan sebuah wadah yang memungkin setiap pengguna Internet membuat konten berita, opini dan fiksi untuk dinikmati oleh para pengguna Internet lainnya.

Walhasil, sekitar 800 konten dalam bentuk tulisan dan foto mengalir di Kompasiana. Konten-konten yang dibuat warga juga cenderung mengikuti arus positif dan bermanfaat karena Kompasiana akan memoderasi konten-konten negatif selama 24 jam.

Nah, dari berbagai tulisan itulah saya menyaring beberapa tulisan yang saya kira wajib untuk saya simpan sendiri, sudah barang tentu tulisan yang aktual, inspiratif bermanfaat dan menarik.

Sebagai sebuah media, Kompasiana cukup unik. Karena dari sisi konten, media berslogan “sharing connecting” ini mengelola konten-konten di dalamnya layaknya sebuah media berita yang selama ini hanya diisi oleh wartawan dan editor media massa. Tapi dari sisi User Interface maupun User Experience, Kompasiana merupakan media sosial yang menyajikan dua fitur utama sekaligus, yaitu fitur blog (social blog) dan fitur pertemanan (social networking).

Itulah yang membuat Kompasiana melejit cepat menjadi website besar hanya dalam kurun waktu empat tahun. Bila sekarang Anda mengecek posisi Kompasiana di pemeringkat website Alexa.com, Anda akan melihat peringkatnya berada di posisi 30 (pernah berada di posisi 29, kadang turun ke posisi 32) di antara website-website yang diakses di Indonesia.

Di kategori website media sosial, Kompasiana berada di posisi ke-8 setelah Facebook (1), Blogspot.com (4), YouTube (5), Wordpress (7), Kaskus (9), Blogger.com (11) dan Twitter (12). Sedangkan di kategori website berita dan informasi, media warga ini berada di posisi ke-4 setelah Detik.com (8), Kompas.com (12) dan Viva.co.id (19). Posisi ini cukup kuat, karena di bawah Kompasiana masih ada Okezone.com (33), Kapanlagi.com (35), Tribunnews.com (40), Tempo.co (47), dan media massa besar lainnya.

Ke depan, dengan semakin besarnya euporia masyarakat Indonesia dalam menggunakan internet dan media sosial, serta semakin besarnya pengakses internet lewat ponsel, Kompasiana mendapat tantangan besar untuk terus meningkatkan kinerjanya. Tantangan itu hanya bisa dijawab dengan menghadirkan enjin yang lebih stabil, lebih andal, lebih nyaman, lebih terbuka dan lebih sosial. Juga harus dihadapi dengan kesiapan insfrastruktur yang lebih besar dan kuat. Dan itulah yang sedang berlangsung di dapur Kompasiana jdi awal 2013.



Bagi yang suka ide gagasan, alasan, ulasan dan opini yang dekstruktif, dijamin tidak akan kecewa membaca tulisan kompasianer yang saya share di balik konten saya dibawah ini,

Selamat membaca, Semoga bermanfaat walau tidak sependapat,
Konten dan artikel selengkapnya klik tautan ini.,
Artikel dan Konten Blog :

Arti Gelar

:D

Jika boleh saya berpendapat, masyarakat Negara kita Indonesia ini adalah masyarakat feodal yang kental. Dalam masyarakat feodal, gelar merupakan sebuah kehormatan. Baik itu gelar kebangsawanan (ningrat) maupun gelar akademik. Orang seringkali mudah tersinggung kalau gelarnya lupa dicantumkan. Bahkan tak sedikit orang yang sengaja memanipulasi gelar. Sengaja mencantumkan gelar yang memang tak pernah ia miliki hanya sekadar untuk dihormati.
Dibandingkan dengan masyarakat di Eropa, di eropa sana gelar bukan lagi barang yang istimewa. Orang-orang sudah tak lagi memikirkan gelar. Di kartu-kartu nama orang-orang eropa tak pernah ada embel-embel gelar. Cukup nama dan nomor telepon saja. Bagi mereka yang sudah memiliki peradaban maju tak terlalu risih berkenalan tanpa menyebut gelar. Masyarakat negara maju lebih menghormati orang-orang yang memiliki karya dan berdedikasi tinggi pada bidangnya. Entah orang itu lulusan SD atau SMA. Selama ia berkarya, ia dihormati.

Harus diakui memang beda jauh dengan masyarakat feodal seperti di Indonesia, Seorang loper koran yang wawasannya luas karena tiap hari baca koran kata-katanya tak akan pernah digubris. Sedangkan seorang ningrat (dalam kebangsawanan), haji (dalam keagamaan) atau doktor (gelar akademik, meski gelarnya beli dan tak pernah punya buku di rumahnya) akan terus dipercayai.

Lihatlah seorang Emha Ainun Najib. Tulisan dan buku-bukunya, sangat enak dan menarik dibaca karena memang tingkat intelektualitasnya sangat tinggi meski tidak satu gelar akademikpun sempat diraihnya. Bandingkan dengan profesor atau doktor yang berjibun jumlahnya di republik ini namun menulis buku atau setidaknya sebuah artikel saja tidak mampu! Pertanyaannya berkuliah tinggi-tinggi untuk apa, mencari ilmu, sekadar gelar, titel, atau prestise?
Prestise! Gengsi! Itulah yang terjadi saat ini! Banyak orang sekarang ini yang menginginkan di depan atau belakang namanya sederet gelar. Dr Anu, S….., M….. dan seterusnya. Kalau bukan untuk mencari ilmu, titel atau gelar semata, lantas untuk apa kalau bukan demi gengsi dan prestise. Memang keren kalau di kartu tanda penduduk (KTP) atau setidaknya di kartu nama atau papan nama depan rumah, tercantum sederet gelar yang berjibun.

:-(

Banyaknya kasus jual beli gelar yang akhir-akhir ini sering terjadi di dunia pendidikan kita tentunya tak lepas dari ambisi seseorang untuk menjadi ningrat secara akademik. Di negeri feodal menjadi Ningrat adalah kebanggaan. Berderet-deret gelar berarti berderet-deret uang siap menjelang. Karena itu tak berlebihan kalau disebut bahwa kaum ningrat adalah pelopor berdirinya masyarakat instan.

Menurut Daniel Bell, salah seorang sosiolog posmodern, masyarakat Instan adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya. Tak mau lagi percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses panjang yang pembelajaran tanpa henti. Masyarakat instan, lanjut Bell, masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah kepentingan parsial, dan percaya satu-satunya keinginan dan asanya bisa dicapai dengan uang.
Tapi memang terlalu naïf jika saya cepat-cepat menyalahkan masyarakat kita yang dengan bangganya mencantumkan sederet gelar di depan dan belakang namanya. Karena ‘keadaanlah’ yang membuat mereka begitu. Di republik yang masih kita cintai ini, titel atau gelar lebih dihargai daripada tingkat kemampuan dan intelektualitas seseorang. Akibatnya, seorang master tak menguasai bidang digelutinya. Demikianlah keadaannya, harap maklum! Akhir kata seperti kata Eka Budianta bahwa tanpa pelampung gelar yang banyak dan ’berat’ itu, orang lebih mampu menyelami lautan Ilmu sedalam-dalamnya. Sebab di dasar lautan itulah tersimpan mutiara yang tak ternilai indahnya.

-_-

http://m.kompasiana.com/post/muda/2013/02/12/gelar-lebih-dihargai-daripada-intelektualitas/

Gelar Lebih Dihargai daripada Intelektualitas

Oleh: Suryono Brandoi Siringo-ringo | 12 February 2013 | 00:47 WIB

Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE

Tinggalkan Pesan Chat
Chat-icon 1







Online saat ini : 1 orang, hari ini: 190 orang, minggu ini: 633 orang, bulan ini: 7752 orang, total semuanya: 366115 orang
, United StatesUnited States,claudebot