Sepekan ini publik sedang terkesima dengan berita politik campur seksploitasi. Berita penangkapan seorang yang dekat dengan petinggi parpol. Apesnya, penangkapan yang memalukan itu semakin memalukan degan setting penangkapannya yakni di kamar hotel. Terlepas dari bantahan si perempuan itu di kemudian hari, opini publik telanjur percaya, kamar hotel benar adanya.
Lantas, media memang pintar meramu sensasi. Sejatinya kasus penggerebekan oleh KPK ini lebih pas disebut skandal politik daripada skandal seks, namun media lebih senang menyoroti sisi kelam naluri manusia ini . Munculah berita berita serta gambar yang sedemikian gamblang menyampaikan pesan pesan seksual.
Lihatlah di situs situs berita, dari yang kelas kacangan sampai yang kredibel, menampilkan foto Maharani yang seksi di dalam taksi. Sambil tak lupa, kronologis kejadian di kamar hotel seperti rekontruksi adegan mesum. Lalu cerita bergulir semakin kesana kemari. Si perempuan pun ikut ikutan ditelanjangi media. Sampai kondisi rumahnya yang sederhana, menjadi konsumsi publik. Publik menjalin semuanya menjadi fakta fakta baru.
Maharani si gadis yang sederhana berkenalan dengan AF di sebuah mal mewah. Gaya hidup mewahnya dipertegas dengan berita begini: Rani mengenakan jam emas di pergelangan tangannya (hehehe..wartawan dibagian ini sudah hiperbolis, saya juga punya jam tangan ‘berwarna’ keemasan seperti itu..tapi bukan emas). Rani juga disorot ketika memakai smartphone. Mau smartphone kelas wahid atau bukan, publik telanjur mencibir. Untuk semua gaya hidup mewahnya itu, tentulah memerlukan ongkos yang tidak sedikit. Dengan rumahnya yang sederhana, tidak susah untuk membuat penilaian, pantas saja Maharani mau diajak kenalan om om dan sumringah dikasih uang 10 juta rupiah.
Berita lain lagi dari tabloid infotainment tentang artis yang tidak begitu terkenal, Cynthia Maramis. Cynthia Maramis berkeluh kesah tentang rumah tangganya juga kondisi keuangannya. Pasca bercerainya ia dan suami, arus kasnya kosong melompong. Bukan itu yang membuat saya takjub. Tapi pengakuannya yang polos dan memilukan tentang anak anaknya yang sempat dikeluarkan dari sekolah internasional karena 9 bulan menunggak SPP.
Begini katanya: “Tahun 2010 income dari dia sudah tidak masuk. Sementara kan anak anak sekolah, les, ada biaya utility apartemen, karena kami tinggal di apartemen. Belum belanja anak anak. Biaya hidup yang tinggi. Tetapi dia selalu telat memberi dan tidak tepat jumlah”. Dua buah mobil dijual untuk menghidupi dirinya. Kemudian ‘terpaksa’ menyewa mobil untuk antar jemput anak…diujung kisahnya pada tabloid itu, ia berharap santunan 50 juta perbulan untuk ketiga anaknya dipenuhi Adrian, mantan suaminya..
Sayapun terpana, biaya hidup 50 juta perbulan…..
Begitu banyak yang terjebak dalam realitas semu. Bre Redana, pemerhati kebudayaan mengatakan, “ini gejala paling mutakhir di Indonesia, bagaimana orang ‘dilatih’ untuk berobsesi dengan persoalan gaya hidup. Semua mengejar pencitraan diri.
Kongkow di kafe mewah, smartphone terbaru, sekolah internasional dstnya dstnya…bahkan ketika tidak punya uang untuk itu. Mitologi modern ini (penampilan diri) mendorong orang untuk terus mengkonsumsi demi kehidupan yang wah..dan tak jarang penuh dengan hura hura…
Salam Kompasiana
http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2013/02/06/maharani-cynthia-maramis-dan-obsesi-gaya-hidup/
Maharani, Cynthia Maramis, dan Obsesi Gaya Hidup
Oleh: Risha | 06 February 2013 | 17:54 WIB