Kembali isu mengenai elektabilitas partai Islam diangkat. Pertanyaannya: Apakah membawa nama Islam masih layak jual? Jawaban nya “ya” dan “tidak”. Mari kita tengok perjalanan partai Islam pascareformasi.
Pada awal awal usai reformasi, partai partai Islam yang tumbuh memang berhasil memperoleh dukungan publik, khususnya mereka yang beragama Islam. Namun, dukungan tersebut lebih kepada aspirasi mereka untuk berpolitik yang waktu itu terkekang dengan pembatasan jumlah partai selama orde baru. Selama itu, hasrat kaum muslimin untuk berorganisasi, hanya bisa sampai pada organisasi sosial kemasyarakatan saja seperti NU dan Muhammadiyyah.
Saat pintu pendirian parpol dibuka, maka hasrat berorganisasi politik segera disambut. Tidak heran, langsung muncul partai partai yang bisa dibilang turunan dari NU, Muhammadiyyah dan beberapa organisasi massa lain. Demikian juga tentunya dengan PK yang pada dasarnya sudah memiliki basis massa yang tersebar.
Melihat pada tahun-tahun itu, itulah periode di mana label Islam laku dijual, Hasrat publik untuk berpolitik secara “Islami” tersalur melalui parpol bernuansa Islam. Tidak heran, perolehan suara partai Islam di periode awal mencerminkan jumlah pengikut organisasi induknya. Apabila pengikut NU lebih besar, maka suara PKB juga akan lebih besar daripada partai yang lain.
Tidak heran, pada masa itu PK memperoleh suara relatif kecil, karena memang basis massanya kalah jauh dibanding dengan PAN dan PKB. Perolehan suara, bukan mencerminkan kualitas kader, tetapi merupakan turunan dari jumlah ormas induk nya.
Sang waktu berlalu. Saat pemilu 2009, kalau tidak salah, PKS memperoleh perolehan yang terbanyak dibanding partai partai Islam lain. Apabila kita jeli, maka layak diduga, bahwa perolehan itu bukan lagi turunan dari organisasi induknya. Bahasa terangnya, tidak serta merta pengikut Muhammadiyyah akan memilih PAN. Apalagi ketika ada spin off, pemisahan antara NU dan PKB, serta Muhammadiyyah dan PAN. Diperjelas lagi kemudian dengan partai partai bernuansa Islam yang kemudian berubah menjadi partai terbuka.
Lalu, di tengah tengah turun nya suara pada partai Islam saat 2009, mengapa justru suara pada PKS naik? Apakah tanda bahwa jumlah pendukung ideologi PKS bertambah? Rasanya tidak. Setelah sepuluh tahun reformasi, agaknya orang bersikap lebih pragmatis. Mereka tidak terlalu mempersoalkan ideologi atau apa pun, namun lebih kepada asas manfaat yang kasat mata. Pemilih bisa jadi melihat kualitas kader PKS lebih baik dari partai Islam lainnya dan percaya bahwa mereka bisa membawa perubahan yang lebih baik. Saya yakin tidak banyak dari pemilih yang membaca, apalagi terpukau dengan visi dan misi partai. Ini bukan lagi alasan ideologi, tetapi alasan partai mana yang dianggap lebih amanah.
Semakin jelas, bahwa belakangan pemilih tidak terlalu peduli dengan ideologi, dan lebih mementingkan sosok orangnya. Seorang teman malah berkomentar, sebenarnya para pemilih PDIP itu pengikut Megawati, dan pemilih Demokrat itu pengikut SBY. Lama kelamaan, spin off (pemisahan) antara ideologi partai dan pemimpinnya kian kuat: Pemilu itu memilih pemimpin, bukan memilih partai.
Perubahan selera pemilih ini diikuti dengan ramainya perburuan tokoh-tokoh yang memiliki massa untuk dijadikan kader partai. Karena apa yang terjadi, bukan lagi tokoh numpang ke partai, tapi partai numpang ke tokoh. Puncak dari segala peristiwa ini adalah terpilihnya Jokowi dan Ahok. Mayoritas pemilih bilang, kalau mereka memilih mereka bukan karena partainya, tetapi karena kualitas orangnya. Dan juga dipilih bukan karena agamanya.
Serangan kepada mereka berdua, karena bukan berasal dari partai yang Islami, sama sekali tidak digubris oleh pemilih yang mayoritas Islam. Rakyat Jakarta memilih mereka karena karakter Islami mereka: amanah, anti korupsi dan bekerja keras. Sangat sedikit yang mengatakan bahwa memilih mereka karena berasal dari PDIP atau Gerindra.
Sayang sekali, perubahan semacam ini tidak disadari oleh sebagian parpol Islam. Label Islam, sesuai syariah dan lain-lain masih terus di usung. Sementara para pemilih menginginkan perubahan yang kasat mata dan bisa dirasakan oleh masyarakat banyak. Bagi masyarakat yang kian pragmatis, pemimpin yang mampu membawa solusi kemacetan, banjir, keamanan, pedagang kaki lima dll akan lebih dihargai daripada mereka yang terus meniupkan ayat ayat agama tapi tidak membawa solusi pada masalah di masyarakat
http://m.kompasiana.com/post/politik/2013/02/05/pilih-partai-islam-atau-pilih-pemimpin-yang-islami-/
Pilih Partai Islam atau Pilih Pemimpin yang Islami?
Oleh: Dwi Samudra | 05 February 2013 | 12:52 WIB