Saya punya teman seorang wirausahawan ulet.
Menurut saya, dia memang punya bakat lahir
menjadi pedagang. Sering kali saya terkagum
menyaksikan langsung cara dia menjual sesuatu
barang, mulai dari mobil, sabun mandi bahkan
korek api merek baru. Saat saya dan teman lain
pesimis bahwa barang yang ia tawarkan tak akan
dibeli ternyata dia mampu meyakinkan orang lain
untuk membeli. Dia adalah pedagang ulet
sekaligus berbakat. Hal ini terbukti bahwa hingga
hari ini usahanya berkembang terus sampai
memiliki sebuah restoran dan beberapa toko.
Sebagai seorang pedagang ulet, sering kali yang ia
pikirkan adalah usaha. Ia menceritakan bagaimana
orang bisa berpikir untuk membikin tusuk gigi
sehingga menjadi barang dagangan. Ia
menceritakan kenapa orang lain lebih dulu punya
ide bikin air dalam kemasan sehingga dijual
hampir seharga bensin. Bahkan ia juga pernah
memaparkan berapa penghasilan yang mungkin
bisa didapatkan jika mengelola wc umum di setiap
terminal se-Jawa Barat.
Dari sekian banyak cerita, ide, dan uneg-uneg
teman saya ini, ada satu ide gila yang membuat
saya tertawa sekaligus mikir serius. Bahkan sampai
sekarang saya memikirkannya dan belum
terjawab.
Pada suatu hari ketika kami menyusuri jalan kota
dan melalui ruas jalan yang menggelembung
karena lapisan aspal dihamparkan begitu saja di
atas rel kereta bekas yang tak terpakai lagi, teman
saya nyeletuk: “kenapa rel itu ditutupi aspal begitu
saja? Jalan jadi menggelembung, bikin tak nyaman
dan mobil cepat rusak”. Menyambung celetukan
itu, teman saya menyampaikan kritiknya
singkatnya terhadap cara kerja pemerintah yang
tidak egektif dan efisien, tentu dalam perspektif
bisnis dan bukan dalam perpektif politis.
Menurut teman saya ini, seharusnya rel yang
melintang menyilang dengan ruas jalan itu
dibongkar sebelum melakukan pengerasan jalan
raya sehingga badan jalan bisa rata tanpa
gangguan bekas rel. Aspal jalan akan menjadi lebih
awet dan nyaman dilalui. Rel kereta itu mungkin
telah tak terpakai sejak kemerdekaan Republik
Indonesia, sehingga tipis harapan untuk
mengaktifkan kembali jalur rel itu.
Dari pada mengganggu jalan raya, besi bekas rel
itu seharusnya bisa dikumpulkan dan dilebur
menjadi bahan perkakas.
Jika seluruh rel yang tak terpakai di pulau jawa
saja dijadikan bahan pisau silet maka ada berapa
milyar pisau silet yang bisa kita produksi? Mungkin
juga produk itu akan menjadi pisau silet terbaik
sejagat.
Gagasan teman saya ini dilontarkan hampir dua
puluh tahun yang lalu ketika kami masih kuliah.
Ide gila ini kemudian menyeret saya pada
pertanyaan panjang yang tak terjawab hingga
sekarang: mengapa rel bekas itu tak dibongkar
dan digunakan untuk bahan peralatan logam yang
kita butuhkan?
Saya sering melihat bentangan rel kereta yang
sudah terpakai lagi. Di perkotaan sering kali jalur
rel yang telah mati itu berdiri pemukiman tak
berijin yang dimanfaatkan kaum urban yang tak
sanggup membeli tanah. Ke arah selatan Bandung
misalnya masih ada jalur rel yang diatasnya telah
dibangun rumah penduduk. Ada pula yang
tertimbun tanah secara alami dan di atasnya telah
rimbun tumbuhan liar. Bahkan ada rel kereta yang
berdiri kokoh melintasi sungai.
Kenapa rel kereta bekas itu dibiarkan? Seandainya
semua besi rel bekas yang tak terpakai se-pulau
jawa dikumpulkan, mungkin ada berapa ribu atau
malah berjuta ton besi bekas yang mutunya jauh
lebih prima dari besa yang diproduksi dewasa ini.
Besi-besi itu telah teruji selama puluhan atau
bahkan ratusan tahun, tak kelihatan tergerus dan
berkarat.
Seandainya semua besi-besi itu dijadikan pisau
silet - mengulangi pertanyaan teman saya - ada
berapa pemasukan negara bertambah?
Tentu bukan hanya teman saya yang gila kalkulasi
bisnis saja yang punya ide memanfaatkan besi
bekas rel itu. Mungkin setiap orang madura yang
terkenal sebagai pelaku bisnis besi bekas juga
punya ide yang sama. Namun kenapa tak mereka
lakukan? ‘Mengapa besi bekas rel peninggalan
jaman kolonial itu tak dimanfaatkan oleh
pemerintah atau oleh PT KAI untuk menambah
penghasilan?’ Atau, ‘adakah pihak yang lebih
berhak atas rel itu dibanding pemerintah RI atau
PT KAI sendiri?’ atau ‘apakah masyarakat yang
mengambilnya bisa dikenai hukuman?’ Pertanyaan
ini masih menggantung di pikiran saya dan belum
terjawab sampai sekarang. Pertanyaan ini lebih
menantang sayia dari dari pada pertanyaan,
‘berapa keuntungan yang bisa didapat jika besi-
besi itu dijadikan pisau silet?’
Adakah rekan-rekan kompasianer yang punya
jawaban atas pertanyaan saya? Berbagilah.
***
Sumber http://m.kompasiana.com/post/bisnis/2013/01/07/jika-rel-kereta-dijadikan-silet/
Jika Rel Kereta Dijadikan Silet
Oleh: Fidel Dapati Giawa | 07 January 2013 | 00:32
WIB