Mati-matian Menulis, Mati Karena Tulisan, atau Menulis Sampai Mati?
Minggu lalu saya mendapat kiriman buku sebagai hadiah, karena termasuk salah satu pemenang lomba menulis Stop Cyberbullying yang digagas oleh sebuah komunitas di Kompasiana. Salah satu buku kiriman itu berjudul Citizen Journalism, karangan Pepih Nugraha. Sebuah buku yang bagi saya unik, luarbiasa, dan begitu ‘menghanyutkan’.
Lantas kenapa saya bilang demikian? Oh ya, perlu diketahui karena begitu banyak buku tentang citizen journalism yang pernah saya baca, belum satupun yang seunik dan sekomplit yang satu ini. Yang dapat memuaskan dahaga saya. Citizen Journalism karya Kang Pepih mengupas-ulas dari berbagai sudut pandang (baca: celah pandang), bahkan dari sesuatu yang tidak terduga sama sekali. Gaya bahasa yang lugas dan mengalir teratur membuat ‘makanan’ yang disajikannya semakin terasa lezat. Apalagi bagi perut yang lapar, seperti perut milik saya. Lapar tulisan.
Hal menarik berikutnya adalah ini. Ia dengan piawainya dan gamblangnya membedah tentang bagaimana menjadi sorang jurnalis yang professional walaupun sementara berada di ‘rumah’ yang bebas, kurang terkontrol, dan apa adanya (atau kasarnya unprofessional). Benar saja, walau kita adalah penulis lepas di blog seperti Kompasiana ini, tapi bilamana yang kita tuliskan adalah reportase berita, peristiwa, atau laporan langsung, maka jelas kita musti bertindak professional. Tidak bisa tidak, tidak boleh tidak.
Tepat di halaman 107 Kang pepih menguraikan tentang bagaimana mencegah 7 dosa besar dunia pers (seven deadly sin) berdasarkan apa yang dikemukan sejarawan Amerika Serikat Paul Johnson. Apa itu? Ini dia: Penyimpangan informasi, dramatisasi fakta, serangan privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran anak, dan penyalahgunaan kekuasaan. Apakah bagi para penulis Kompasiana ketujuh dosa besar itu sudah sepenuhnya dihindari, atau justru semakin sering terjadi? Bisa jadi, The more you against it the more you like it? Bukankah berbuat dosa itu kadang memang amat sangat menyenangkan? Apalagi ‘hanya’ di Kompasiana ini. Ah, entahlah. Tapi mustinya 7 dosa besar itu tidak boleh ada di rumah yang katanya sehat ini. We have our own opinion. Saran saya, you must follow your heart.
Seperti yang pernah saya tulis, “Di mana hatimu berada di situ penamu berada”. Sebaliknya, di mana penamu berada, harusnya di situ juga hatimu berada.
Mati-matian Menulis dan Mati Karena Tulisan
Bagaimana sikap kita dalam menulis? Apakah kita memandang sebuah tulisan hanya seperti seonggok barang tiada bernilai? Atau justru kita memberi penghargaan yang sangat tinggi atas tulisan-tulisan yang kita hasilkan. Kalau kita menulis untuk dipublikasikan secara online, maka ingat betul, sekali ia terpasang dan terpajang di sana dia akan ada di sana forever. Tulisan kita akan menjadi sebuah ‘prasasti hidup’ yang akan menjelaskan siapa kita sesungguhnya, lewat kata-kata kita, opini-opini kita, tulisan penuh makna kita, atau lewat foto-foto yang kita abadikan. Maka tidak berlebihanlah orang yang bilang, “You are what you say, and you are what you read, but you are also what you write”. Siapa dirimu akan nampak melalui apa yang Anda katakan dan tuliskan.
Ada yang mati-matian menulis supaya bisa dikenal. Ada pula yang mati-matian menulis supaya mendapat bayaran tinggi. Ada yang mati-matian menulis karena ingin dihargai. Tak jarang yang mati-matian menulis supaya target satu tulisan sehari dapat terpenuhi, terlepas tulisannya berbobot atau tidak. Acap kali kita menulis supaya kebutuhan batin kita tercapai. Seorang kawan saya yang sangat kaya, sudah punya posisi penting sebagai seorang konsul, dan bahkan punya empat anak perusahaan, pernah mengatakan kepada saya seperti ini, “Saya ingin sekali bisa menulis seperti Anda. Saya ingin sekali tulisan saya bisa dipublikasi”. Lantas kenapa ia ingin menulis?
Apakah karena ia kurang kaya atau kurang terkenal? Saya rasa bukan. Ia ingin dapat menulis untuk memuaskan rasa ingin tahunya, bagaimana sih menghasilkan sebuah tulisan yang dibaca banyak orang. Juga demi memuaskan batinnya.
Kini, keinginan paripurnanya adalah menulis.
Sesuatu yang belum pernah ia capai.
Kalau boleh saya berkata sedikit lancang, kepuasan tertinggi orang berpengetahuan adalah bila ia sudah mampu menulis dengan baik dan benar. Kita mungkin pandai membaca, kita pandai mendengar, kita pandai pula berbicara, tapi yang paling sulit adalah menulis. Kendala paling sering adalah karena kita tidak punya niat, kurang percaya diri, dan tidak tahu musti mulai dari mana.
Makanya, berbahagialah Anda yang sudah bisa menulis. Bayangkan saja seorang calon doktor sampai-sampai untuk membuat karya tulis harus dengan memplagiat tulisan orang lain (mahasiswanya). Ini jelas memalukan sekaligus menyedihkan.
Kemudian Anda mungkin bertanya, apakah sudah pernah ada yang mati karena menulis? Saya tidak terlalu yakin kalau ada yang sudah mati karena menulis. Kecuali orang itu menulis selama seminggu tanpa pernah makan dan minum, itu lain cerita. Dipenjara karena menulis banyak.
Dipecat karena menulis kritikan terhadap atasannya itu sering. Tapi kalau maksudnya adalah apakah ada yang mati karena sebuah tulisan yang ia baca? Nah, itu juga sudah banyak. Maksud saya begini, ada tulisan yang sanggup membunuh seseorang, atau membuat seseorang jatuh terpuruk. Ada yang sampai bunuh diri karena membaca tulisan jelek tentang dirinya dipublikasikan secara online. Hati-hatilah bila menulis sesuatu yang berakibat fatal terhadap seseorang.
Menulis Sampai Mati
Kalau ini konteksnya jelas. Bukan memaksakan diri dalam menulis sampai mati, tapi menulislah terus selama hayat masih dikandung badan.
Menulis adalah kegembiraan saya. Saya menjadi anggota berbagai perpustakaan di Amerika supaya boleh membaca banyak buku, dan supaya kemampuan menulis saya meningkat. Dan sampai hari ini hobi utama saya tetaplah membaca dan menulis. Namun ternyata membaca dan menulis pun bisa membuat kita ‘menderita’. Bayangkan saja, dalam satu hari saya harus membaca sampai tujuh buku (baik yang lama maupun baru). Ini melelahkan dan terus terang membuat capek, Tapi ya karena sudah menjadi hobby dan habit, ya tetap saya jalani. Demikian juga menulis, setiap hari harus ada tulisan yang saya hasilkan, baik untuk perusahaan saya, juga untuk memenuhi banyak permintaan.
Menulis ternyata adalah kegembiraan sekaligus penderitaan. Di dalam tiap kegembiraan saya yakin pasti mengandung benih penderitaan. Tidak ada kesenangan yang luput dari kesedihan. Ini berlaku di segala bidang hidup, tanpa terkecuali. Sebuah rumah tangga saja tidak mungkin hanya berisi rasa gembira semata-mata, tanpa pernah dirundung derita. Gembira dan derita adalah dua hal yang bertolak belakang, namun terpadu menjadi satu.
Suka atau tidak, itulah kenyataan hidup. Ilmu pedagogi menyebut kenyataan tersebut sebagai dialektika. Apa itu kira-kira? Yaitu bila dalam diri kita terdapat dua potensi yang saling berkebalikan, namun keduanya bersinergi. Berpikir dialektis adalah mengakui adanya dua kebenaran yang bertolak belakang tapi kita justru memanfaatkan kedua kebenaran itu, sebab dua-duanya benar.
Dalam profesi apapun, gembira dan derita terjalin menjadi satu. Begitu pulalah profesi seorang penulis. Tiap hari kegembiraan dan penderitaan terus menyatu. Tapi itulah juga yang secara terus menerus mendorong untuk lahirnya sebuah tulisan. Ya, tulisan yang kiranya dapat memberi manfaat bagi yang membacanya. Menulis untuk berbagi apa saja, termasuk membagi ilmu, pengalaman, dan kebahagiaan. Tiap hari saya menganyam benar gembira dan benang derita menjadi tenunan tulisan yang siap dibaca. Semoga para pembaca berkenan dengan tenunan ini, tulisan ini.
Sampai kapan saya akan menenun atau menulis? Sampai kapan pula Anda akan terus menulis?
Penulis sejati pasti akan menjawab, bahwa ia akan menulis sampai di batas akhir hidupnya. Ia akan terus berbagi sampai jiwanya dipanggil Sang Khalik. Jawaban pastinya memang hanya ada pada Sang pemberi Tulisan yang adalah juga Sang Pemberi Kehidupan itu. Meminjam istilah Dr. Andar, tiap hari kita berdoa, “Tuhan, berilah saya tulisan sampai kehidupan selesai, dan berilah saya kehidupan sampai tulisan selesai.” —Michael Sendow—
http://m.kompasiana.com/post/new-media/2013/03/12/mati-matian-menulis-mati-karena-tulisan-atau-menulis-sampai-mati/
Mati-matian Menulis, Mati Karena Tulisan, atau Menulis Sampai Mati?
Oleh: Michael Sendow | 12 March 2013 | 11:03 WIB