Lamborghini Huracán LP 610-4 t
HomeBlog Okta AdityaAbout me



Blog Nya Okta Aditya

Blog Aktual Berisi Berbagai Opini, Gagasan, Ide dan Ulasan tentang isu-isu yang lagi hangat dan berkembang. Blog kumpulan berbagai berita aktual dari berbagai kalangan. Dan juga Tulisan-tulisan yang sangat menarik dan bermanfaat dari hasil pengalaman seseorang yang saya share disini.

Blog Terpercaya Rekomendasi Google.

Selamat menikmati, semoga anda senang.


K O N T E N B L O G :


Klik tautan ini untuk melihat konten blog secara lengkap.

Apa itu Keminter?

“Jadilah manusia yang pinter, tapi jangan sekali-kali berlaku keminter, dan waspada agar tidak keblinger!”. Itulah nasehat Bapa, saat saya akan mulai menginjak bangku perguruan tinggi, sembilan tahun lalu. Pepatah itu masih saja terpatri dalam hati saya hingga kini.

Pinter, keminter dan pinter keblinger! Ketiga kata tersebut sering saya dengar dalam percakapan sehari-hari. Namun waktu itu, saya belum bisa memilah maknanya. Seiring bertambahnya usia, ilmu dan pengalaman menjadi modal pengetahuan. Saya coba mengartikannya ketiga kata itu sesederhana mungkin. Pinter berarti pandai, cerdas, terpelajar, arif dan bijaksana. Keminter berarti belagak so’ pandai. Sementara pinter keblinger artinya keliru atau tersesat oleh karena merasa pandai.

Orang pinter akan dihormati orang lain. Tapi, bila orang pinter bertingkah keminter, akan timbul rasa muak bagi orang lain. Saat orang yang merasa pinter melakukan tindakan salah, ia akan keblinger, dan jadi bahan cemoohan orang sekitar.

Kapan seseorang dianggap keminter? Kalau orang tersebut dalam pandangan orang lain telah berbicara atau bertindak melebihi kemampuan yang dimilikinya. Dalam keadaan seperti itu, orang yang keminter serasa menggurui. Orang keminter ini sering saya temui, baik di warung kopi, terminal, ruang kelas, pas acara seminar atau diskusi, saat mendengar orasi, pun ocehan atasan di kantor.

Sebagai contoh, saya sering dengar orang berbicara dengan menggunakan istilah-istilah yang hebat. Tetapi kalimat yang mereka susun tidak sepadan kehebatannya dengan istilah yang mereka gunakan. Kualitas berpikir yang mendasari argumen tersebut juga tidak setara. Tingkah laku seperti itu menimbulkan kesan keminter.

Pada kondisi seperti itu, sungguh saya merasa muak, sebab saya merasakan adanya pelecehan terhadap konsepsi hebat, yang lahir dari pemikiran mendalam, tapi digunakan oleh orang yang berpikir pas-pasan. Kesan keminter ini akan lebih kuat lagi kalau wacana yang mengadopsi istilah besar itu digunakan dengan “bahasa gado-gado”, yaitu bahasa Indonesia yang tidak sempurna, disisipi istilah asing, yang cara pengucapannya saja sudah salah.

Sekarang, apa contoh situasi pinter keblinger? Contohnya banyak sekali. Diantara ramalan yang dibuat orang pinter ternyata banyak juga yang meleset. Ramalan tentang kedatangan “Ratu Adil” sampai sekarang ternyata tidak ada yang terwujud. Contoh paling mencolok di negara kita ini ialah keputusan untuk meminjam utang luar negeri sebagai modal untuk membangun bangsa. Namun pada kenyataannya, uang tersebut malah raib ditelan oleh para koruptor.

Perlu kita catat dan dijadikan contoh juga, ramalan tentang bencana yang menimpa bangsa Indonesia, karena banyak dosa yang telah kita perbuat. Memang benar kita telah tertimpa berbagai bencana; Merapi meletus, Mentawai gempa dan tsunami, air bah Waisor, banjir Jakarta, terendamnya Bandung, lumpur Lapindo, tabrakan kereta, kapal jatuh, dan rentetan bencana lainnya. Tetapi itu bukan karena kita telah banyak berdosa, melainkan karena kita terus-menerus membuat kesalahan.

Segenap malapetaka yang kita alami ini, saya kira adalah evidensi yang jelas salah tentang keputusan yang kita ambil pada masa lalu. Sukar untuk dipungkiri, bahwa kita sebagai bangsa telah keblinger; bahwa di masa lampau kita telah bertindak ceroboh, yaitu mengambil keputusan salah, padahal telah diketahui dampak yang akan ditimbulkannya. Keputusan tertentu telah kita ambil secara membabi-buta, termasuk masalah lingkungan. Bukannya mencegah terjadinya malapetaka yang mungkin akan timbul dari suatu keputusan jauh lebih penting daripada meredam malapetaka yang timbul oleh keputusan tadi?

Pada akhirnya, dapatkah kita sebagai bangsa memetik pelajaran dari keblingeran kita selama ini? Dapatkah kita mengembangkan diri sebagai bangsa yang pinter, tetapi tidak keminter, dan berusaha untuk mengambil keputusan secara literate, sehingga kita tidak terjebak dalam keblingeran? Hal yang mudah diucapkan, namun sulit dilakukan, bukan?

http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2013/03/12/pinter-keminter-keblinger/

Pinter, Keminter, Keblinger?

Oleh: Faqih Muhammad | 12 March 2013 | 11:17 WIB

Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE
Follow @AdityaEmail_ 1