HomeBlog Okta AdityaAbout me



Blog Nya Okta Aditya

Blog Aktual Berisi Berbagai Opini, Gagasan, Ide dan Ulasan tentang isu-isu yang lagi hangat dan berkembang. Blog kumpulan berbagai berita aktual dari berbagai kalangan. Dan juga Tulisan-tulisan yang sangat menarik dan bermanfaat dari hasil pengalaman seseorang yang saya share disini.

Blog Terpercaya Rekomendasi Google.

Selamat menikmati, semoga anda senang.


K O N T E N B L O G :


Klik tautan ini untuk melihat konten blog secara lengkap.

Rasa Benci

Di akhir tahun 1999, hampir semua orang mencaci-maki Pak Harto yang dipersepsikannya sebagai biang kerok atas segala krisis multidimensi yang terjadi di republik ini. Orang-orang yang semula “menjilat-jilat” bokong Pak Harto pun menjauhinya, agar terbebas dari stigma Soehartois. Tetapi Gus Dur, yang oleh media terbitan Singapura, The Sunday Times dijuluki sebagai The Kingmaker itu dengan entengnya dan tanpa beban malah berkunjung ke kediaman Soeharto di Cendana. Manuver yang tak lazim itu tentu saja membuat banyak orang heran, marah bahkan banyak pula yang menghujat kunjungan itu, mengingat mantan presiden itu telah dicap sebagai public enemy. Lantas, apa jawaban Gus Dur menanggapi hujatan ketika itu? “Pak Harto masih kuat. Pendukungnya yang berewokan dan serem-serem itu bisa marah kalau Pak Harto terus dihujat,” demikian jawab Gus Dur enteng.

Terlepas dari anasir politis yang melatarbelakangi tindakan Gus Dur yang nyleneh bin nekat itu, ada satu ibrah yang dapat kita ambil untuk direnungkan bersama. Boleh jadi Gus Dur tidaklah membenci Soherto sebagai sesama manusia yang tentu juga masih memiliki sifat kemanusiaan, tetapi menurut penulis Gus Dur hanya membenci kediktatoran mantan penguasa Orde Baru itu. Jadi, Gus Dur tidaklah membenci “siapanya” Soeharto, tetapi membenci “apanya” Soeharto. Ini persis seperti yang pernah diucapkan oleh Sayidina Ali r.a., Undzur ma qola wala tandzur man qola, (Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan). Di sinilah tampak dengan jelas nilai-nilai keadilan (al-’adalah) yang coba diajarkan Gus Dur dalam meletakkan antara sikap kebencian dengan nilai-nilai humanisme secara tepat, seimbang dan proporsional.

Sifat membenci atau kebencian (al-bughdh) adalah suatu keniscayaan yang pasti dimiliki oleh setiap makhluk yang bernama manusia, sebab di dunia ini ada dua hal yang senantiasa berpasang-pasangan; siang-malam, baik-buruk, cinta-benci dan seterusnya. Jadi, jika ada yang mengatakan “saya tak pernah membenci apapun atau siapapun”, maka orang seperti ini perlu dipertanyakan kemanusiaannya karena sok bertipologi malaikat. Oleh karena sifat membenci dan mencintai itu musti ada pada setiap diri kita, maka kewajiban kita adalah me-manage­-nya secara profesional agar kecintaan dan kebencian itu dapat diletakkan sesuai tempatnya dan mampu menghasilkan kemaslahatan dan rahmatan lil’alamin.

Al-Qur’an dengan telah tegas menggariskan: “…Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu berbuat tidak adil. Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maidah : 8). Ayat ini secara jelas memberi pelajaran kepada kita bahwa meskipun kebencian itu lazim ada pada siapapun, dengan tegas Al-Qur’an mensyaratkan tidak boleh sama sekali kebencian itu dijadikan alasan untuk memperlakukan institusinya atau orang yang dibencinya secara tidak adil. Contoh kecil misalnya saja menghadapi kasus Ahmadiyah, boleh-boleh saja orang tidak setuju dengan keberadaan Kelompok Ahmadiyah tetapi sekali-kali ketidaksetujuan itu tidak boleh kita lampiaskan dengan mengejar-ngejar mereka seperti maling atau merusak fasilitas mereka semaunya.

Dalam contoh lain misalnya, kasus pemuatan karikatur Nabi oleh koran Denmark yang memicu gelombang unjuk rasa di hampir seluruh negara yang berpenduduk muslim juga merupakan contoh yang patut direnungkan. Bahwa sah-sah saja kita layangkan protes sebagai wujud kecintaan kita kepada Rasulullah SAW, tetapi sangat disayangkan jika bentuk protes itu kita wujudkan dengan tindakan-tindakan anarkhis yang justru merugikan orang lain yang kebetulan tidak tahu-menahu dengan kasus tersebut. Tentu saja tidak semua rakyat Denmark harus dimintai tanggung jawab, misalnya dengan memboikot produk-produk negara Denmark sehingga mengganggu stabilitas perekonomian negara itu yang di dalamnya juga ada umat muslimnya. Jadi, silahkan kita membenci apapun atau siapapun, tetapi sekali-kali kebencian itu harus diposisikan secara profesional, jika tidak maka kebencian itu sendiri yang lambat laun akan menyusahkan diri kita sendiri.

Kita tentu masih ingat bagaimana Rasulullah SAW ketika diganggu oleh seorang kafir Quraisy berkali-kali, tetapi ketika si kafir Quraisy suatu hari tidak tampak lagi mengganggunya karena sakit, Rasulullah SAW lah yang pertama kali datang menjenguknya. Lihatlah, betapa mulianya panutan kita itu. Pemimpin manakah di dunia ini yang dapat menandingi akhlak beliau? Tokoh manakah yang mampu menyamai kearifan beliau? Beda dengan kita, tersentil sedikit saja reaksinya bukan main hebatnya.

Ada salah satu kebiasaan yang mungkin masih kita lakukan, yaitu kebencian gebyah uyah (the hate generalized) atau kebencian pukul rata. Misalnya, kita membenci salah satu sikap seseorang yang menurut kita sudah keterlaluan, karena saking bencinya kita menjadi gelap mata dan menganggap orang itu akan brengsek selamanya. Atau karena saking tidak sukanya lantas kita memvonisnya secara membabi buta dengan menyatakan bahwa semua af’al (perbuatan) orang yang tidak kita sukai itu “kurang ajar” belaka hanya karena satu perbuatan yang tak kita sukai.

Ataupun juga, karena terlalu membenci seseorang lalu ketika kita secara tak sengaja bertemu orang yang sangat kita benci itu kita sering membuang muka, bahkan memberi sedikit senyumanpun terasa berat, padahal ini sama saja dengan tidak “memanusiakan” manusia karena menganggap orang yang kita benci itu hanya sebagai “mayat berjalan”. Tindakan semacam ini jelas-jelas menunjukkan bahwa kita tak profesional mengelola kebencian, yakni tak mampu menjunjung tinggi prinsip keadilan ketika kebencian sedang menguasai jiwa. Padahal dengan jelas Tuhan telah berfirman bahwa tak boleh sekali-kali kebencian kita itu menjadikan kita alasan untuk berlaku tidak adil, meskipun hanya sebatas malas memberikan senyuman di saat kita dikuasai perasaan benci.
Dalam konteks membenci atau mencintai sesama, Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya telah memberikan batasan: “Ahbib habibaka haunan ma, ‘asa an yakuna baghidhoka yauman ma. Wa abghidh baghidhoka haunan ma, ‘asa an yakuna habibaka yauman ma” (Cintailah kekasihmu itu sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan membencinya suatu ketika. Dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan mencintainya suatu ketika) (HR. Tirmidzi).

Dengan tegas sabda Rasulullah SAW ini menjelaskan kepada kita bahwa meskipun kecintaan atau kebencian itu sebuah keniscayaan, akan tetapi ia tak boleh berlebihan, dalam arti cintailah dan bencilah apa saja yang kita cintai dan kita benci dalam tataran yang wajar supaya kita tetap bisa berlaku adil, dan supaya kita tetap menjadi manusia.

Jika pada suatu saat kita memang harus membenci seseorang, silahkan benci saja dia. Tetapi janganlah kebencian itu dengan harga mati, agar humanisme kita tidak ikut mati. Janganlah kebencian itu membabi buta, agar hati kita tidak ikut-ikutan buta. Jika karena kebencian yang overdosis itu humanisme kita benar-benar mati dan hati kita telah buta, maka jelas kita tak akan pernah mengenal keadilan, baik terhadap lingkungan, orang lain maupun terhadap diri kita sendiri. Bukankah Tuhan telah berfirman bahwa sikap adil itu dekat dengan ketaqwaan. Jadi jika kita memang banyak tidak melihat kebaikan pada diri seseorang, janganlah orang itu kita musnahkan kemanusiaannya, janganlah ia kita rampas semua hak-haknya (Mala yudraku kulluh, la yutraku kulluh). Berkaitan dengan hal ini, ada satu pepatah yang menyatakan : “Errors like straws upon the surface flow; he who would search for pearls must dive low”, maksudnya, mencari kesalahan orang lain itu mudah, tetapi kita perlu berusaha untuk mengetahui kebaikan-kebaikannya. Artinya, di antara sifat-sifat jahat seseorang, pastilah ia masih punya sifat baik. Oleh karena itulah, mengapa kita tidak boleh menghilangkan hak-hak kemanusiaan seseorang meskipun kebencian kita sudah menggunung? Agar kita tetap menjadi makhluk yang bernama manusia. Inilah sesungguhnya yang disebut dengan manajemen kebencian, yaitu me-manage kebencian kita terhadap apapun atau siapapun yang kita benci secara prefosional, agar kebencian kita itu dapat diletakkan pada posisi yang proporsional. Karena dengan begitulah, kita akan tetap menjadi manusia yang berkeadilan di antara manusia-manusia yang mungkin saja kita sebut-sebut sebagai manusia “setengah manusia” atau manusia yang tak “berperi-kemanusiaan” sekalipun.

Wallahu ‘alam bishshawab

http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2013/03/05/manajemen-kebencian/

Manajemen Kebencian

Oleh: Imam Hanafie El-arwany | 05 March 2013 | 22:18 WIB

Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE
Follow @AdityaEmail_ 1

XtGem Forum catalog