Tingginya intensitas curah hujan yang turun selama berhari-hari menyebabkan banjir di sejumlah wilayah Indonesia termasuk sebagian besar wilayah DKI Jakarta. Banjir memang seolah menjadi suatu hal yang biasa bagi Jakarta maupun warga nya. Dan beberapa hari belakangan ini menjadi topik yang sangat hangat sehingga perhatian kita terhadap kasus korupsi seolah luput begitu saja. Tidak habis-habisnya saya melihat status di jejaring sosial pertemanan membahas atau bahkan menjuhat salah satu daerah menjadi penyebab atas terjadinya banjir besar di Jakarta.
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah berita di media elektronik. Yang isinya memuat liputan ketika Presiden kita berkunjung ke pinggiran kali ciliwung. Tak kurang Presiden SBY pun memberikan pernyataan “Menyelesaikan banjir bukan hanya konvensional tapi solusi, kerjasama, kepatuhan dan disiplin masyarakat,” sebagai solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta (Kompas 21/01/2013). Itu dinyatakan setelah melihat kenyataan bahwa sampah adalah salah satu penyebab banjir dan sampah itu muncul karena rendahnya kedisiplinan masyarakat. Gunungan sampah yang menutupi pintu air Manggarai bukan hanya kejadian di masa kini. Perbandingan foto pintu air Manggarai yang didapat dari sebuah media masa menunjukkan bahwa tahun 1971 dan tahun 2013 menunjukkan gambaran yang sama persis, sampah menutupi pintu air Manggarai. Pembuang sampah mayoritas orang yang kelahiran setelah 1971. Kejadian 1971 tidak berdampak ke tingkat kedisiplinan masyarakat dalam membuang sampah. Perlu langkah untuk mengubah perilaku masyarakat agar menjadi disiplin dalam membuang sampah.
Hal ini membuat saya semakin tersadar bahwa kita harus segera bertindak dan berhenti saling menyalahkan satu sama lain. Seharusnya kita bekerja sama dalam bergotong royong membangun Jakarta menjadi lebih baik lagi.
Sangat miris memang ketika melihat liputan teman – teman media yang ada tentang banjir. Entah itu korban banjir yang sudah meninggal atau yang selamat dari arus air yang sangat deras waktu itu, kerugian harta benda ataupun bakti sosial pemberian bantuan. Tetapi ada satu hal yang paling membuat saya merasa miris lagi, ketika saya melihat Jakarta seolah menjadi lautan sampah pada saat itu. Entah penyakit apa saja yang bisa menghinggapi warga Jakarta dan sekitarnya pascabanjir nanti.
Apakah kita harus belajar sampai ke negara Jepang hanya untuk menanggulangi sampah? Saya rasa tidak. Jepang memang berhasil dalam menanggulangi sampah, tapi saya rasa tidak perlu sampai ke sana. Di Indonesia pun masih banyak sumber daya manusia yang handal dalam menanggulanginya. Menurut saya, mempunyai orang yang handal di bidang pengelolaan sampah pun tidak akan pernah cukup menjadikan Jakarta lebih baik lagi. Tetapi adanya kesadaran dan disiplin diri dari masyarakat Jakarta dalam membuang sampah pada tempatnya, akan menjadi salah satu solusinya. Jika kita amati berapa banyak tong sampah di Jakarta, kita akan tercengang. Lebih tercengang lagi ketika kita melihat ke dalam tong sampahnya karena isi tong sampahnya kosong. Dan apabila kita mengamati daerah sekelilingnya akan banyak terdapat sampah. Sangat menyedihkan sekali memang.
Apakah semua ini karena perda yang tidak efektif karena tidak memuat sanksi hukum? Atau jumlah sampah yang berbanding lurus dengan pertambahan penduduk yang tidak diiringi pelayanan yang baik dari pemerintah? Ataukah karena jumlah tempat sampah yang kurang di Jakarta? Sekali lagi, marilah kita berhenti menduga-duga dan mulai menggerakan disiplin dari dalam diri sendiri.
Saya kembali berfikir, apakah benar adanya istilah banjir kiriman jika kita melihat kenyataan banyak sampah yang ada di Jakarta? Baik itu di bawah tempat sampah yang telah disediakan itu sendiri, parit, sungai, ataupun jalanan di ibukota. Ataukah kegagalan pemerintah dalam menanggulanginya?
Menghitung banyaknya tong sampah yang ada, maupun yang tidak ada di daerah yang sangat strategis di Jakarta. Dengan adanya ini semua, sangat terasa sekali kegagalan sosialisasi dari pemerintah tentang bagaimana menangulangi sampah dengan baik di Jakarta. Kenapa saya bisa berkata seperti itu, suatu ketika saya pernah melewati perkampungan di daerah Jakarta pagi-pagi ketika berangkat kerja, sang ibu berpesan kepada anaknya yang masih bersekolah dasar hendak berangkat ke sekolah agar anak itu jangan lupa untuk membuang sampah, ya sampah… membuang nya di kali dekat rumah. Dengan harapan agar rumah dan lingkungan nya bebas dari sampah, dan sampah itu terhanyut oleh arus sungai yang mungkin dia sendiri tidak tau dimana muaranya. Tidak cuma itu, ada saat dimana saya terjebak kemacetan di Jakarta, dan saya sempat tercengang ketika seseorang berdasi membuang bekas permen atau pun anak berseragam sekolah di salah satu sekolah terkenal di Jakarta yang membuang bungkus bekas makanan ringan dari jendela mobil bagusnya. Dan belum lagi fenomena yg sering kita lihat puntung rokok, tissue, kertas cokelat pembungkus nasi yang terlempar dari angkutan kota atau pun bus yang lalu lalang di ibu kota. Bersadarkan dari hasil data statistik kependudukan yang kita bisa lihat di portal Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Perintah Provinsi DKI Jakarta, untuk wilayah Jakarta Pusat dengan luas wilayah 48,08 km² - 1.123.670 jiwa, Jakarta Utara 143,21 km² - 1.716.345 jiwa, Jakarta Barat 127,11 km² - 2.260.341 jiwa, Jakarta Selatan 145,73 km² - 2.135.571 jiwa, Jakarta Timur 188.19 km² - 2.926.732 jiwa. Bisakah kita bayangkan berapa banyak total sampah yang ada apabila semua penduduk di Jakarta membuang sampah?
Apakah sebegitu mudah nya orang melupakan bagaimana membuang sampah yang baik di tempatnya? Dan bagaimanakah agar masyarakat terus mengingat agar mau membuang sampah pada tempatnya. Apakah harus ada banjir yang memakan korban banyak seperti ini dulu baru masyarakat mau peduli tentang sampah? Melihat anggaran pemerintah yang sangat fantastis dalam menanggulangi sampah dan kerugian yang ada, apakah pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang lebih banyak lagi guna menanggulanginya?
Apakah tidak dapat dikatakan suatu pemborosan dan digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat lagi? Mengingat Jakarta sedang mempersiapkan anggaran untuk melakukan suatu pembangunan guna mengatasi kemacetan yang ada.
Ketika melihat sampah di pinggiran kali manggarai sepulang saya bekerja, saya teringat muatan lokal tentang pelajaran kesenian di jaman sekolah saya dahulu, dimana para siswa nya di haruskan membawa sampah dari rumah untuk di daur ulang di sekolah, agar menjadi sesuatu yang indah, bermanfaat atau bahkan bisa dijual kembali. Saya kembali berfikir, haruskah saya menjadi menteri pendidikan dulu baru saya membuat mata pelajaran Penanggulangan Banjir sebagai muatan lokal bagi semua sekolah di Indonesia, yang isi pelajarannya bagaimana membuang sampah yang baik di tempat yang telah di sediakan, bagaimana mengolah sampah dengan baik agar tercipta lingkungan yang sehat, bagaimana menghasilkan benda-benda yang menarik dari berbagai macam sampah sehingga dapat menghasilkan uang, dan di jenjang paling tinggi di sekolah di buatlah tugas akir sekolah berupa pembuatan film pendek tentang bagaimana penanggulangan sampah yang baik sehingga tercipta lingkungan yang bersih sehat dan bebas banjir atau tidak bagaimana menghadapi banjir, yang semua hasilnya di serahkan ke sekolah agar bisa di tunjukan sebagai bentuk kebanggaan dan sosialisasi untuk tahun ajaran berikut nya kepada mereka yang lebih bawah jenjang sekolah nya, dan yang terbaik di unggah di portal dinas kependidikan agar mereka yang membuat film tersebut termotivasi untuk membuat yang terbaik. Dengan fasilitas video dalam kemasan DVD, diseminasi value perilaku disiplin kepada seluruh siswa tentu tidak akan sulit untuk wilayah DKI Jakarta. Dan mungkin banyak sub bab lain nya yang bisa di ciptakan sehingga mempercepat sosialisasi sedari dini. Saya rasa itu tidak membutuhkan anggaran yang banyak karena yang kita pelajari atau pun sosialisasikan merupakan sesuatu yang murah dan bisa di dapat gratis tanpa harus membayar karena di setiap rumah pastilah menghasilkan sampah. Untuk pembuatan film pun saya rasa semua orang bisa, tidak perlu professional untuk menanganinya.
Karena banyak karya anak bangsa berupa film pendek pembuatan nya hanya memakai kamera telepon genggam. Kalau pun para siswa di jenjang yang lebih tinggi tidak mempunyai telepon genggam atau kamera, guru atau sekolah pun bisa membantu meminjamkan nya. Saya rasa setiap sekolah mempunyai anggaran masing – masing. Jika di Jepang, negara dimana sering terdapat gempa, anak usia sekolah di ajarkan bagaimana cara menghadapi nya dengan latihan – latihan rutin, kenapa di Jakarta dengan banjir nya tidak bisa?
Berdasarkan hasil dari data statistik tentang jumlah sekolah di Jakarta, di dapatkan hasil berupa ada nya SDN 2.244, swasta 753. SMPN 306 swasta 631. SMAN 116, swasta 381. SMKN 62, swasta 512. Dengan memiliki kewenangan berupa muatan lokal pada sekolah-sekolah tersebut Jokowi memiliki kesempatan untuk mengajarkan perilaku disiplin dan langkah kreatif langsung kepada siswa yang jumlah keseluruhannya sebanyak Dan terdapat jumlah murid SDN 670.599 - swasta 192.323, SMPN 227.722 - swasta 135.464, SMAN 91.886-swasta 85.731, SMKN 41.830 - swasta 157.751, ini seharusnya sudah menjadi modal bagi Gubernur kita yang baru, Bapak Jokowi, untuk langkah kedepan nya membuat Jakarta lebih baik lagi.
Dengan jumlah siswa yang sebegitu besar, Jokowi juga memiliki kesempatan untuk mengolah sampah rumah tangga. Jika sekiranya semua anak TK di wajibkan untuk membawa kotak bekas susu, bungkus makanan ringan, botol – botol dan lain nya yang sekira nya bisa di daur ulang di setiap hari senin serta membuat kerajinan tangan pada hari rabu dan jum’at di setiap minggu nya, bukankah itu membuat sesuatu yang di nilai tidak bermanfaat menjadi mempunyai nilai manfaat sekaligus membuat orang tua di rumah menjadi bangga anak mereka yang masih kecil bisa membuat kerajinan tangan. Andaikata semua siswa SD di wajibkan untuk membuat tugas berupa miniature ruangan rumah mereka, kolam ikan, taman bermain, sekolah atau bahkan mungkin kota Jakata dan mungkin ide – ide menarik lain nya yang di bagikan di setiap hari juma’at dan di bawa setiap hari senin minimal dua minggu sekali untuk di presentasikan ke depan kelas, entah itu secara individu mau pun kelompok, bukankah itu lebih efektif juga dalam menanggulangi sampah? Sekaligus melatih kemampuan anak – anak tersebut menjadi lebih berani lagi untuk tampil di depan umum, menambah perbendaharaan kata dan lebih mengenal istilah – istilah, melatih mereka untuk berfikir tentang IPTEK sedari dini, hal itu juga bisa mengurangi volume sampah rumah tangga. Tanpa harus di adakan nya seminar dan workshop yang pada akhir nya menambah anggaran, semua guru – guru di sekolah bisa saling berbagi keterampilan masing – masing. Setiap orang mempunyai potensi seni dan keterampilan dalam diri nya. Entah itu hanya sekadar berkomentar hasil keterampilan orang lain kurang bagus dan sama – sama memperbaiki nya, yang paling sederhana membuat dari kertas origami, atau pun membuat maket kota sekali pun pasti bisa. Di sela – sela makan siang sambil berbincang – bincang satu sama lain memberikan sumbangan ide kreatif. Hal itu bisa di lakukan sekaligus juga bisa meminimalis pemandangan ada nya pegawai negeri yang berbelanja di pusat perbelanjaan lewat jauh dari jam makan siang. Seandainya setiap siswa SMP dan SMU/SMK dalam muatan lokal secara periodik diwajibkan membawa sampah di rumahnya ke sekolah lalu disekolah dipraktekkan bagaimana cara mengolah sampah rumah tangga tersebut menjadi ramah lingkungan dan bernilai ekonomi, tentu dalam beberapa tahun sebagian besar rumah tangga di DKI Jakarta akan dapat mengolah sampahnya secara lebih bernilai ekonomis. Ini otomatis akan mengurangi volume produksi sampah rumah tangga di DKI Jakarta yang pada akhirnya akan meminimalkan sampah yang masuk ke kali. Tinggal Jokowi beserta jajaran Dinas Pendidikannya, apakah berminat menggunakan modal yang dimiliki dan peluang yang di depan mata untuk menangani sampah guna mengurangi salah satu penyebab banjir di DKI Jakarta.
Membaca salah satu tulisan Birokrasi, Reformasi Komedi Putar, Oleh Bapak Amien Sunaryadi (kompas, 27/ 06/ 2008) bahwa Komidi putar atau draaimolen adalah salah satu impian anak-anak.
Semua anak naik dari suatu tempat, setelah berputar beberapa kali, akan turun di tempat yang sama. Apa hubungan komedi putar dengan birokrasi dan Jakarta? Disadari, birokrasi kita kini masih sama dengan keadaan tahun 1970. Aneka keluhan tentang gaji yang kecil, kinerja rendah, tidak profesional, tidak mengenal sistem merit, kerjanya lamban, pelayanan tidak memuaskan, dan stigma jelek lainnya melekat pada birokrasi kita. Sepertinya pada tahun 1970, birokrasi telah melangkahkan kaki menaiki komedi putar. Tahun 2008, birokrasi turun dari komedi putar di tempat semula naik, tidak beranjak dari tempat semula meski telah berputar dan berputar lama. Untuk itu, diperlukan dobrakan Presiden Yudhoyono untuk mewujudkan sebuah tim kerja reformasi birokrasi yang terdiri dari the best available people, mencakup: Pertama, pengosongan semua jabatan eselon I dan II di Kementerian PAN. Kedua, rekrutmen secara profesional dan terbuka bagi semua pegawai negeri yang memenuhi syarat, baik dari PNS, TNI, maupun Polri, guna mengisi jabatan eselon I & II yang kosong. Ketiga, menugaskan Menneg PAN, dengan dibantu eselon I & II yang baru direkrut, untuk menjalankan dan mengendalikan seluruh reformasi birokrasi.
Apakah hal ini harus di lakukan oleh Bapak Jokowi juga? Melakukan reformasi birokrasi? Memangkas orang – orang yang di anggap tidak mempunyai kondite yang cukup baik dan membuat tim kerja reformasi yang terdiri dari orang – orang yang terbaik dari yang terbaik, sehingga tercipta nya birokrasi dan reformasi yang lebih baik lagi.
Membangun generasi penerus Jakarta yang lebih baik lagi mulai dari sekarang. Dengan total siswa sekolah yang ada, bisa dijadikan modal dasar oleh Bapak Jokowi untuk sekarang dan kedepan nya. Jika itu membuat Jakarta menjadi lebih baik lagi, bukan suatu masalah yang besar untuk Bapak Jokowi yang mempunyai kewenangan penuh atas Jakarta. Tinggal sejauh mana niat dan keinginan Bapak Jokowi dan warga Jakarta menjadikan semuanya lebih baik lagi. Wallahualam
http://m.kompasiana.com/post/edukasi/2013/02/07/jokowi-gunakan-murid-cegah-banjir/
Jokowi, Gunakan Murid Cegah Banjir!
Oleh: Nurmaya Spd | 07 February 2013 | 06:56 WIB