Teknologi rasanya belumlah dianggap menjadi sebuah solusi dari setiap permasalahan yang terjadi di bangsa ini. Katakanlah banjir, khususnya di DKI, sudah diupayakan pembangunan beberapa banjir kanal, pengerukan disana-sini, tapi apa hasilnya, tak semua itupun bisa meredam laju air yang begitu deras seiring naiknya debit air di tiap tanggul, bahkan menjebolnya.
Lantas saja, Gubernur DKI Jakarta meminta bantuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk melaksanakan teknologi modifikasi cuaca yang dimotori oleh UPT Hujan Buatan BPPT. Hal ini nampaknya masih terbilang baru bagi segenap khalayak. Selayaknya hal yang baru muncul pun, pasti akan terjadi pro dan kontra terkait penerapan teknologi tersebut.
Memang solusi teknologi belumlah akrab di keseharian kita. Impor beras tanpa melihat bahwa ada teknologi buatan Badan Atom Nasional yang menghasilkan beras kualitas tinggi, impor terigu dan kedelai tanpa melihat teknologi yang dapat memanfaatkan singkong dan jagung sebagai langkah subtitusinya. Atau katakanlah melihat siklus banjir tahunan seperti ini masih dilakukan pola penanganan konvensional yang masih cenderung represif, setelah terjadi baru ramai bersih-bersih dan memulai mengeruk kali. Atau bahkan masih ada yang lebih percaya dengan kualitas pawang hujan.
Langkah irasional sebagai solusi permasalahan memang sudah membudaya di negeri kita. Mulai dari demam, kesurupan, disantet-pun masih ada yang pergi ke dukun. Bahkan untuk peningkatan karir dan popularitas langkah irasional itupun masih banyak terjadi. Bahkan sang ‘Mbah” sudah bermobil mewah melalui praktiknya.
Apa kita di tengah peradaban tablet dan touchscreen ini masih percaya hal seperti itu? Atau haruskah kita merubah pemahaman konservatif menuju perubahan peradaban bangsa ini. Saya rasa kebanyakan kita sudah banyak yang mulai meninggalkan hal irasional seperti disebutkan. Oleh karena itu, terkait teknologi modifikasi cuaca untuk mencegah banjir ini, saya merasa kita perlu mendukung niat baik Gubernur DKI.
Sudah beribu cara dilakukan pemerintah DKI sebelumnya, namun banjir tak kunjung reda. Sekali teknologi modifikasi cuaca digelar, bisa kita lihat bahwa tanggal 27 Januari kemarin, langsung dibuktikan oleh para punggawa bangsa tersebut, bahwa teknologi layak untuk menjadi salah satu solusi dari permasalahan banjir di DKI ini.
Sementara itu, banyak media yang menyatakan bahwa biaya modifikasi cuaca ini mahal, sebesar 13 miliar. Padahal 13 miliar tersebut jika diasumsikan untuk biaya penerbangan selama dua bulan, dengan ratusan kru dan ratusan ton bahan garam, pantaskah dibilang mahal? Apalagi jika dibandingkan dengan biaya pengerukan kali dan pembangunan banjir kanal. Bahkan jika dibandingkan dengan dana tanggap banjir DKI yang menurut link ini (http://www.madina.co.id/index.php/home/berita-utama/11061-bau-amis-korupsi-usai-banjir-jakarta) mencapai 2 trilyun, berapa persenkah 13 milyar itu?
Dari situlah baru saya pahami ternyata hal ini jauh lebih efisien dan layak menjadi salah satu solusi penanganan banjir DKI. Dan para pakar pelaksana modifikasi cuaca tersebut jika dilihat di berbagai media mengatakan bahwa teknologi ini tidak memindahkan banjir dan tidak juga menciptakan kekeringan di Jakarta.
Inilah yang mendasari saya menulis hal ini, karena beberapa hari ini saya lihat di berbagai media terkesan penerapan teknologi ini terkesan disudutkan. Ada yang menyudutkan bahwa hal ini tidak mungkin bisa dilaksanakan. Padahal di Thailand, China dan lainnya, hal semacam ini sudah lazim dilakukan. Bahkan di Thailand sendiri unit modifikasi cuaca ini dapat berjalan langsung di bawah komando sang Raja. Dan hasilnya pun positif, bahkan sepanjang tahun kita tidak henti menjumpai, Durian Monthong, Pepaya Bangkok, dan buah Bangkok lainnya.
Ada juga yang menyatakan bahwa modifikasi cuaca ini melawan kehendak alam, lantas apa gunanya ilmu pengetahuan sebagai salah satu sarana manusia dalam hal ikhtiar (berusaha), untuk menciptakan hal yang lebih baik demi kemaslahatan umat manusia.
Kemudian, ada juga pakar lain asal LIPI seperti di Kompas tempo hari yang menyebutkan teknologi ini dapat menyebabkan kekeringan. Ya Tuhan, padahal kita masih was-was akan banjir melihat hujan pun masih kerap terjadi dan masih deras di Jakarta ini.
Tanpa bermaksud menyalahkan pakar tersebut, sebenarnya kita sebagai generasi penerus bangsa ini sudah semestinya tidak skeptis akan teknologi. Steve Job dan Bill Gates saja butuh waktu untuk sebuah inovasi baru. Lantas apa kita hanya mau menjadi penikmat dan konsumen sejati dari produk luar negeri? Karenanya, sudah seharusnya kita mendukung penerapan modifikasi cuaca oleh bangsa ini sebagai momentum didayagunakannya teknologi sebagai solusi rasional akan masalah di bangsa ini.
Semoga kedepan nanti banyak teknologi baru, seperti mobil listrik, mobil Esemka, dan karya teknologi anak bangsa lainnya yang muncul sebagai solusi bagi bangsa kita ini.
-saalaam-
http://m.kompasiana.com/post/terapan/2013/02/06/teknologi-modifikasi-cuaca-masih-dianggap-irasional-sungguh-konservatif/
Teknologi Modifikasi Cuaca Masih Dianggap Irasional, Sungguh Konservatif
Oleh: Suryapratama | 06 February 2013 | 10:10 WIB