Sadar atau tidak, sesungguhnya dalam kehidupan di sekitar kita banyak ditemui kekerasan dalam berbagai bentuk maupun tingkatannya. Mulai dari kekerasan fisik dan non-fisik yang sifatnya ringan atau halus hingga kasar bahkan cenderung vulgar.
Kata kekerasan itu sendiri mengundang banyak pemahaman. Kekerasan bisa saja merupakan suatu peristiwa atau perbuatan yang tidak mengenakkan, tidak menyenangkan atau menyakitkan, melecehkan. Dengan perkataan lain, kekerasan juga merupakan sesuatu yang menakutkan, mengerikan, mengancam bahkan kekerasan bisa membahayakan dan mematikan bagi mereka yang menjadi objek atau korban.
Dalam perkembangannya, seiring dinamika sosial yang ditandai semakin tingginya interaksi antarmanusia dengan berbagai kepentingan yang menyertai > maka benturan kepentingan seringkali tidak terkendali sehingga langkah berupa kekerasan (bullying) menjadi pilihan yang dianggap mampu menyelesaikan masalah.
Untuk mengantisipasi serta penanganan kekerasan fisik, barang tentu sudah banyak kasus yang diselesaikan secara yuridis formal, dengan harapan agar para pelakunya dibuat jera. Namun untuk kekerasan non-fisik atau kekerasan yang tidak tampak sepertinya masih perlu didiskusikan lebih lanjut.
Belakangan ini kekerasan no-fisik cenderung merebak. Sejalan dengan perubahan zaman maupun peradaban yang ditandai percepatan di bidang teknologi yaitu tersedianya segala perangkat media atau alat yang mempermudah manusia berinteraksi, bertransaksi informasi > sehingga dalam proses berkomunikasi pun sesungguhnya ditemui kecenderungan adanya kekerasan. Walaupun hanya dalam bentuk bahasa dan tutur kata, peristiwa kekerasan bisa saja terjadi dan dilakukan oleh kalangan tertentu.
Tidak terkecuali di dunia maya (medium internet), terutama dalam aktivitas komunikasi di media sosial online yang memiliki daya jangkau luas dan mampu menembus batas, interaksi manusia satu dengan lainnya semakin intens, disampaikan secara serentak atau dapat berlangsung secara real-time. Bahkan hampir setiap orang (tanpa memandang status dan keahliannya) diperbolehkan ikutserta nimbrung atau bersama-sama mengakses sehingga bukan tidak mungkin bilamana dalam heterogenitas tersebut ditemui fenomena kekerasan dalam berbahasa atau bertutur kata.
Disadari ataupun tidak, pilihan kata yang dikemas dalam bahasa “pasar” atau “jalanan” seringkali muncul pada suatu ketikanya, misal > bodoh, tolol, bangsat, dan lain-lain maupun umpatan lain yang merendahkan martabat seseorang. Bukankah hal ini merupakan pilihan kata-kata kasar yang akan mengundang konflik berkepanjangan dan pada gilirannya terjadi perdebatan kurang sehat yang bisa memicu kekerasan (bullying)? Menjauhkan diri dari pertemanan/persahabatan?
Kalau kita masih menganggap diri sebagai bangsa yang berbudaya, berbudi luhur, bersopan-santun dan beradab, mestinya itu semua tidak perlu terjadi. Penggunaan bahasa dan pilihan kata secara serampangan yang berakibat mengundang konflik seperti pelecehan, penghinaan, penistaan, ancaman atau sejenisnya sudah saatnya dienyahkan, karena bahasa itu sendiri merupakan salah satu piranti sosial yang mampu menjadikan masyarakat memiliki identitas. Bahkan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi sekaligus menunjukkan identitas dan karakter penggunanya.
Semakin menggejalanya kekerasan di dunia maya (cyber-bully), telah banyak pihak yang perduli untuk melakukan tindakan nyata. Walaupun pemerintah dalam hal ini belum menunjukkan kesiapan (baca: terlambat) dalam mengantisipasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran seperti tindak kriminal yang dilakukan lewat dunia maya (cyber-crime) maupun tindak kekerasan di dunia maya (cyber-bully) namun di kalangan komunitas yang perduli akan bahaya berupa dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya sudah mulai banyak dilakukan.
Di lingkungan kita sendiri, kompasiana.com > kampanye stop kekerasan di dunia maya (stop cyber-bully) telah dilakukan. Selengkapnya bisa dibaca: http://media.kompasiana.com/new-media/2013/01/08/lomba-menulis-stop-cyberbully-berhadiah-uang-tunai-rp-15-juta-523517.html dan kelanjutannya klik ini: http://media.kompasiana.com/new-media/2013/02/04/inilah-para-pemenang-lomba-menulis-stop-cyberbully-530823.htmlhttp://media.kompasiana.com/new-media/2013/02/04/inilah-para-pemenang-lomba-menulis-stop-cyberbully-530823.html
Nah, terlepas dari motivasi maupun apa yang melatarbelakangi peserta lomba, yang jelas sebaran dan sentuhan informasi bertemakan stop kekerasan di dunia maya ini semakin gencar dilakukan. Diffusi informasi yang semakin menyebar akan mampu menjangkau ruang lingkup yang lebih luas, diharapkan mampu menambah pengetahuan khalayak tentang apa dan bagaimana cyber-bully.
Berkait pelaksanaan lomba penulisan stop cyber-bully yang telah usai, barang tentu menyisakan pertanyaan > apakah upaya tersebut efektif atau tidak? Berpengaruh atau tidak terhadap khalayak, terutama bagi para kompasianer atau pembaca lain yang budiman? Dan akankah kelakuan yang menjurus pada tindak kekerasan di dunia maya (kompasiana.com) akan lenyap setelahnya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas tentu saja tidak bisa gegabah. Kampanye antikekerasan atau hentikan kekerasan di dunia maya yang diwujudkan dalam lomba penulisan stop cyber-bully, memang tidaklah serta merta akan merubah para pelaku yang ditengarai kerap melakukan kekerasan di dunia maya segera kapok atau jera untuk mengulangi kelakuannya. Perubahan sikap terhadap pelaku kekerasan masih memerlukan proses komunikasi berkelanjutan untuk mencapai efektivitasnya.
Namun demikian, apa yang telah dilakukan oleh para personal yang perduli akan bahaya kekerasan di dunia maya dan diwujudkan dalam penulisan bertema stop cyber-bully merupakan suatu langkah awal untuk memeranginya.
Langkah tersebut sesungguhnya bisa dipahami sebagai upaya penyuluhan lewat media sekaligus sosialisasi kepada khalayak luas betapa perlunya diketahui gejala kekerasan (bullying) di dunia maya, menggugah kesadaran untuk belajar bersama, saling berbagi wawasan, mengingatkan tentang kekerasan di dunia maya berikut dampak-dampaknya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh kognitif atas lomba penulisan stop cyber-bully yang telah dipublikasikan para peserta dalam beragam perspektif telah mencapai sasarannya. Khalayak luas yang tadinya belum mengetahui apa itu cyber-bully semakin menjadi tahu. Jadi, dalam pesan-pesan bermakna yang telah disampaikan melalui tulisan-tulisan tersebut ditujukan kepada pikiran khalayaknya. (Walaupun penulis tidak ikut berlomba, namun tetap berucap salut dan salam kepada kompasianer yang telah berpartisipasi dalam lomba tersebut)
Sedangkan untuk mencapai pengaruhnya secara behavioral, tentu saja masih ada langkah yang perlu dilakukan. Dalam konteks komunikasi, setelah dilakukan kampanye/penyuluhan atau sosialisasi lewat media, proses penyampaian pesan terkait stop cyber-bully tersebut layaknya disusul dengan perencanaan komunikasi yang cermat. Untuk meminimalisir sekaligus mengantisipasi merebaknya kekerasan di dunia maya maka pemetaan atau mapping terhadap sasaran yang hendak dicapai menjadi suatu kebutuhan bilamana diharapkan suatu pengaruh yang optimal.
Komunikasi tatap muka dalam forum/kelompok terbatas menjadi pilihan yang dianjurkan, karena dalam model komunikasi demikian (tatap muka) memiliki kelebihan di antaranya: proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dapat berlangsung secara timbal balik, lebih terbuka, mendalami tentang topik yang dikemukakan, penyatuan emosi antara pelaku komunikasi, penyampaian pesan lebih persuasif dan mampu mengubah sikap, pembiayaan relatif lebih murah.
Dalam kaitan itulah, langkah implementatif yang selama ini telah banyak dilakukan relawan yang tergabung dalam ID-Kita Kompasiana layak menjadi percontohan dalam berkontribusi nyata, yaitu mengajak dalam artian lebih luas > menjadikan khalayak mengetahui, mengerti, memahami, untuk selanjutnya menyadari (conscious) tentang bagaimana berinternet atau “bermain” di dunia maya secara sehat. Termasuk di dalamnya tentang dampak-dampak negatif yang disebabkan adanya kekerasan (bullying) di dunia maya.
JM (5-2-2013)
http://m.kompasiana.com/post/new-media/2013/02/05/kampanye-stop-kekerasan-di-dunia-maya/
Kampanye Stop Kekerasan di Dunia Maya
Oleh: Joko Martono | 05 February 2013 | 21:46 WIB