HomeBlog Okta AdityaAbout me



Blog Nya Okta Aditya

Blog Aktual Berisi Berbagai Opini, Gagasan, Ide dan Ulasan tentang isu-isu yang lagi hangat dan berkembang. Blog kumpulan berbagai berita aktual dari berbagai kalangan. Dan juga Tulisan-tulisan yang sangat menarik dan bermanfaat dari hasil pengalaman seseorang yang saya share disini.

Blog Terpercaya Rekomendasi Google.

Selamat menikmati, semoga anda senang.


K O N T E N B L O G :


Klik tautan ini untuk melihat konten blog secara lengkap.

UU Tentang Korupsi

Kasus korupsi mencuat lagi, tetapi marilah kita sadari bahwa banyaknya hujatan yang kita buat, tidak akan dapat membantu menyelesaikan masalah.

Karena dari berbagai elemen masyarakat yang ternyata banyak muncul adalah hujatan, saya justru melihat kasus korupsi ini seperti dimanfaatkan untuk menggiring opini bangsa yang dapat membawa pada keputusasaan dan memunculkan pola fikir apatis. Seperti buah simalakama, seolah-olah tidak ada jalan keluar, meskipun jalan keluar itu sangat bisa.

Masih berkaitan dengan artikel yang pernah saya tulis pertama kali “Habisnya energy mengeluhkan korupsi”, meski sangat tidak popular, saya melihat jalan keluarnya membenahi korupsi adalah membenahi sistim.

Saya mencoba mengakses link ini http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tugas-dan-wewenang untuk memahami sistim yaitu bagaimana UU dibuat. Data dari sana terbatas, tetapi artikel ini sifatnya hanya sebagai “trigger” untuk mengajak berfikir bahwa kasus korupsi tidak bisa diselesaikan dengan hanya menyerang individu per individu, tetapi harus melalui pembenahan sistim yang kontinyu. Mudah-mudahan nanti pihak yang berkecimpung di-bidang tersebut berkehendak menyumbangkan idenya bagaimana agar ketiga lembaga kita legislative-eksekutif-yudikatif dapat bersinergi.

Artikel ini focus pada peran DPR (yang bekerja sama dengan Presiden pihak eksekutif membentuk undang-undang) dengan sedikit mengkaitkan pada konflik kewenangan penyelidikan pihak KPK dan Kepolisian (note: dari kacamata seorang rakyat jelata yang melihat kaburnya sistim di negeri kita).

Kalau kita ingat keributan antara pihak KPK dan Kepolisian tentang siapa pihak yang berwenang untuk menyelidiki kasus di tubuh POLRI yang berkaitan dengan pengadaan simulator, sebagian masyarakat mungkin berfikir:

- Kenapa dua lembaga yang mestinya menjadi penegak ‘kebenaran’ sampai bertengkar?

- Siapa yang salah? a. Presiden dan DPR yang menetapkan wewenang KPK yang ‘ambigious’, atau b. KPK yang kebablasan mempergunakan wewenangnya? atau c. Kepolisian juga merasa mempunyai wewenang, tetapi sudah terlalu banyak diberi lebel lembaga yang belum mampu menegakkan kebenaran?

- Lalu bagaimana kelanjutan kedua lembaga ini? Beberapa angggota POLRI mundur dari keanggotaan KPK, dan bagaimanakah KPK selanjutnya ditegakkan agar tidak “berseteru” dengan pihak kepolisian?

Dari kasus itu saja, semestinya kita sadar bahwa SISTIM itu mesti dibenahi. Sayangnya masyarakat sudah terlanjur digiring dengan opini “yang penting KPK jalan terus” tanpa memperhatikan konflik yang terjadi di tubuh antar lembaga bangsa itu sendiri. Kita lihat KPK hanya sebagai lembaga tambahan yang ditetapkan oleh undang-undang pemerintah (Presiden + DPR) yang belakangan muncul karena kasus korupsi yang tidak kunjung reda, tetapi apakah itu cukup? Jika saja sistim (sinergi antara eksekutif – legislative - dan yudikatif) di negeri ini berjalan baik dan terus-menerus dibenahi, UU nya tepat, tentu Kepolisisan sebagai pelaksana penegak hukum dan KPK tidak harus sampai bertengkar mempeributkan wewenang.

Saya sendiri pesimis kalau hanya mengandalkan gerak KPK untuk mengatasi korupsi karena yang dibidik hanya individu-per-individu, sedangkan yang membangun system sendiri di negeri ini sedang tenggelam, entah focus mereka apa, kekuasaan barangkali. Saya lihat persoalan yang pertama muncul sebagai inti permasalahan adalah lembaga legeslatif itu sendiri (DPR). Kita coba melihat gap yang ada antara tugas dan anggota DPR.

Kalau meninjau tugas dan wewenang mereka (lihat http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tugas-dan-wewenang ), tugas mereka tidak ringan, selain menentukan UU untuk RAPBN, sumber UU yang lainnya juga berasal dari mereka. Kalau ditinjau dari rencana strategis mereka, prosesnya cukup hati-hati dalam pembuatan UU sebagaimana iniformasi ini:

“Dukungan keahlian tersebut berupa penyusunan draft RUU dan naskah akademik hingga uji material UU (judicial review) pada persidangan MK. Sekretariat Jenderal DPR RI juga mengadakan seminar, penelitian dan pengkajian, kunjungan ke daerah, dan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi/universitas dalam rangka penyusunan draft RUU dan naskah akademiknya”.

Tetapi, bagi rakyat kebanyakan, yang tidak jelas dari kinerja mereka adalah peninjauan dan penelitian mereka tentang “ke-efektif-an” dan kendala pelaksanaan UU yang telah dibuat. UU itu meski perancangannya sudah hati-hati, selalu ada gap antara teori dan kondisi lapangan, disinilah yang nampaknya info kinerjanya samar (setidaknya dilihat dari info web mereka) yaitu tentang prosedur peninjauan dan penelitian pelaksanaan UU dan pembenahannya. Meski terdapat P3DI yang melalui Bidang Pengkajiannya “melakukan penelitian, pengkajian, pengolahan data, dan informasi perkembangan DPR RI dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas-tugas Alat Kelengkapan Dewan” belum jelas arahnya kemana.

Sumber UU dibuat dari sana, tugas DPR sangat penting dan berat yang tidak bisa dibuat main-main, maka sudah semestinya DPR harus diwakili oleh tenaga ahli yang solid. Jika tidak dilaksanakan oleh pihak yang tepat, akan sangat rawan dengan penyelewengan karena salah satunya berkaitan dengan pembuatan undang-undang untuk pemakaian keuangan Negara. Pertanyaannya, sudahkah keahlian keanggotaan DPR dapat mensupport tugas-tugas yang mereka emban?
Marilah kita lihat sekarang keanggotaan DPR yang memegang peran kunci dalam lembaga legislatif:

1. 1. Anggota mereka ditetapkan berdasarkan kuota partai yang memenangkan pemilu. Tetapi siapa yang dipilih menduduki jabatan di DPR tentunya tergantung partainya, bisa saja artis, pengusaha, pengacara, atau ‘scholars’ entah bagaimana partai memilihnya. Ada partai yang sungguh-sungguh mendidik kadernya, ada yang tidak jelas bagaimana partainya dikembangkan. Corak yang seperti ini tentunya mempengaruhi peran mereka di lembaga DPR tersebut yang terkait dengan “political will” dari masing-masing partai.

2. 2. Hubungan DPR dan Presiden tergantung pada politik yang sedang berjalan, kenapa demikian? Pada jamannya Bapak Soeharto mereka terkungkung oleh kekuasaan eksekutif yang lebih dominan. Pada era reformasi, peran mereka lebih besar tetapi juga tidak menolak pada “kesepakatan” bersama eksekutif (pendapat ini bisa saja sangat keliru).

3. 3. DPR sebetulnya adalah sebuah lembaga “abu-abu”. Keahlian masing-masing anggota tidak diketahui karena dasar berkumpulnya adalah kuota, mengingat adanya issue yang beredar di masyarakat yang sebagian juga mereka laporkan di web mereka, “anggota DPR sering tertidur kalau rapat, banyak yang absen kalau rapat, menonton video porno kalau rapat, studi banding keluar negeri tapi tidak jelas sasarannya”, yang menjadi pertanyaan, yang terjun ke lapangan sebenarnya siapa, kalau rapat kok tidur? Di web dilaporkan ada 773 tenaga ahli (yang direkrut dari lembaga professional) yang kelapangan mereka atau bagaimana? Laporannya tinggal dibacakan?
Dapatkah kita bayangkan kepelikan yang dapat muncul dari undang-undang yang dihasilkan oleh mereka?

Yang paling alami perlu kita sadari adalah ‘pekerjaan’ manusia tidak ada yang sekali jalan langsung sempurna, maka rakyat awam seperti saya tentu akan bertanya sudahkah kualitas SDM mendukung tugas yang akan diembannya? UU berfungsi untuk menata bagaimana sistim pemerintahan di Negara ini harus berjalan. Kalau terjadi kasus korupsi, kita tidak bisa hanya melihat dengan sepihak membidik individu-individu satu persatu. Dua-duanya harus berjalan, ya individunya diberikan hukuman, ya sistimnya dibenahi untuk mencegah perbuatan serupa di masa yang akan datang. Karena sistim ini sumbernya berasal dari UU yang berlaku, UU itu berarti harus dibenahi agar pihak eksekutif – legeslatif – dan yudikatif dapat memainkan perannya secara tepat.

Ada sebagian gerak DPR dan info di DPR yang tentu saja bukan untuk konsumsi umum.  Tetapi mungkin tidak ada salahnya jika ada pertanyaan untuk merefleksi apa yang sudah dilakukan, sudahkah secara kontinyu dari tahun ke tahun pelaksanaan UU itu diteliti dengan seksama?

Apakah yang menyebabkan terdapatnya lubang untuk perbuatan kejahatan? Kenapakah aparat penegak hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya? Adakah SDM-nya yang bandel atau hukumnya yang tidak jelas?

Jalan keluarnya membenahi sistim ini, kalau rakyat jelata boleh usul, maka barangkali ada manfaatnya untuk berfikir:

1. 1. Formasi keanggotaan DPR dibenahi, (1) separo dari keanggotaan DPR diganti dengan tenaga-tenaga ahli (termasuk ahli hukum) yang diperkerjakan secara tetap dengan masa pensiun tertentu dan dipilih secara mufakat oleh Presiden, pihak Yudikatif, dan wakil dari lembaga-lembaga strategis pemerintah (agar terjadi penilaian yang obyektif terhadap individu yang dipilih). Mereka ini bukan yang bekerja dibalik layar seperti yang tertulis berjumlah 773, tetapi mereka juga mempunyai peran kunci dalam pembuatan UU. (2) Yang separo di-isi oleh mereka yang diusulkan oleh partai-partai yang mempunyai kuota dengan mempertimbangkan kredibilitas individu yang diusulkan dilihat dari sepak terjang sebelumnya, dan keanggotaan mereka sifatnya sementara.

2. 2. Salah satu tugas DPR anggota tetap adalah meninjau dan meneliti kefektifitasan UU yang sudah ditetapkan dan dilaksanakan, misalnya saja melakukan peninjauan/penelitian pelaksanaan UU tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang: bagian UU yang mana yang menimbulkan banyak polemik di masyarakat dan kurang efektif karena masih sering terjadi kasus pencucian uang atau malah menimbulkan ketidakadilan dalam penanganan kasus. Tugas yang seperti ini yang justru penting, dan harus ditangani oleh tenaga ahli yang harus ada di DPR, yang bahkan jika dibutuhkan perlu menggandeng lembaga peneliti (tugas yang beginian tidak bisa hanya dengan rapat dan studi banding).

3. 3. Dengan adanya kebutuhan untuk meninjau keefektifan UU, maka tugas DPR menjadi lebih nyata karena mereka mau tidak mau harus terjun ke lapangan, bukan untuk menjadi polisi, tetapi menjadi penengah di tengah masyarakat (dalam perannya sebagai peneliti per-undang-undang-an) mendengarkan suara mereka tentang kepincangan yang terjadi antara pemimpin, pihak yang dipimpin, dan UU yang ada yang rentan menimbulkan konflik diantara keduanya yang terutama menyangkut pemakaian dana Negara (Tugas ini berbeda dengan menampung keluhan dari masyarakat saja, tetapi lebih kompleks “multilayer”, termasuk meninjau kenapa suatu pasal dalam UU sering dilanggar dan kondisi apa yang menyebabkan demikian, atau kenapa suatu pasal UU tidak dikenal sehingga rawan dilanggar).

4. 4. Pembenahan keanggotaan DPR ini setidaknya juga akan mendidik partai-partai yang ada, bahwa tujuan berpartai bukan mencari kekuasaan, maka keanggotaan mereka jumlahnya dikurangi secara signifikan, tidak diberi kekuasaan yang lebar seperti sekarang, agar mereka ikut berfikir bahwa dibentuknya partai adalah untuk menggali pemimpin yang mau membangun bangsa.

5. 5. Selanjutnya, poin yang tidak kalah penting adalah tangggung jawab DPR dan Pemerintah untuk membangun sosialisasi UU baik bagi sebuah lembaga yang bersangkutan maupun warga masyarakat pada umumnya. Jangan sampai seperti yang dikeluhkan oleh Bapak SBY, “pejabat tidak berani mengambil keputusan karena kuatir keputusannya nanti terjerat tindak pidana korupsi”. Perkara begini ini bukan perkara enteng, tidak cukup dijawab oleh ketua KPK bahwa “pejabat meski paham hukum atau UU yang sedang berjalan”, yang mesti kita ingat dalam UU dan hukum itu masih memungkinkan adanya wilayah abu-abu, maka wilayah ini yang harus ditinjau dengan seksama dan diteliti. Sosialisasi ini setidaknya menjadi sarana komunikasi antara pihak yang membuat UU dan pihak yang akan terkena UU.

6. 6. Pembenahan ini tentunya tujuan akhirnya adalah untuk membentuk UU yang solid yang memungkinkan berfungsinya elemen Negara secara efektif termasuk lembaga kepolisian dan lembaga hukum lainnya.

Akhir kata, ini hanyalah angan-angan seorang rakyat jelata yang tidak lepas dari kesalahan. Setidaknya, karena pemilu sudah dekat, semestinya yang difikirkan bukan saja siapa Presidennya nantinya, tetapi juga bagaimana keanggotaan dan kinerja DPR bisa dibenahi dimasa yang akan datang. Akhir kata kita percaya bahwa masih ada banyak usulan yang membangun, maka semoga mereka mau membagi buah pikirannya, dan marilah kita hilangkan hujatan-hujatan yang hanya akan menimbulkan sifat apatis bangsa.

http://http://m.kompasiana.com/post/politik/2013/02/05/korupsi-uu-dan-dpr/

Korupsi, UU, dan DPR

Oleh: Anik Kusnawati | 05 February 2013 | 10:36 WIB

Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE
Follow @AdityaEmail_ 1

Pair of Vintage Old School Fru