HomeBlog Okta AdityaAbout me

United States

Blog Nya Okta Aditya

Blog Aktual Berisi Berbagai Opini, Gagasan, Ide dan Ulasan tentang isu-isu yang lagi hangat dan berkembang. Blog kumpulan berbagai berita aktual dari berbagai kalangan. Dan juga Tulisan-tulisan yang sangat menarik dan bermanfaat dari hasil pengalaman seseorang yang saya share disini.

Blog Terpercaya Rekomendasi Google.

Selamat menikmati, semoga anda senang.


K O N T E N B L O G :


Klik tautan ini untuk melihat konten blog secara lengkap.

Mengatasi Banjir di Jakarta

Mengatasi Banjir di Jakarta

Masalah Banjir dan Ide Penanggulangannya

Banjir itu hukum alamnya sederhana:
1. Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang
rendah
2. Kalau aliran air tersumbat, mampat dan
menggenang
3. Kalau debit aliran air lebih banyak dari daya
tampung, air meluap

Hukum alam yang sederhana itu menjadi sangat
kompleks masalahnya ketika hadir dalam
komunitas hunian manusia, terutama dalam skala
kota. Makin tidak terencana fasilitas drainase yang
disediakan di dalam kota, makin parah
masalahnya.

Jadi, yang bikin ruwet itu bukan alam, tapi
terutama manusia sendiri, dalam hal ini adalah
bagian perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan drainase dan sikap buruk warga
kota yang sering berbuat seenaknya.
Ambil contoh sederhana tapi fatal: Soal parit di
tepi kanan kiri jalan.

Jalan S. Parman itu jalan besar, lebar jalur satu
arahnya mampu menampung 6 jajar mobil. Jalur
pemisah jalan 2 arahnya adalah kali kotor yang
lebar dan banyak aliran sampah. Kanan-kirinya
gedung-gedung tinggi, mall-mall, universitas,
hotel, kantor, dll.

Ketika penulis lewat di depan kampus Untar dan
Trisakti dan melihat dari sela-sela lubang parit tepi
jalan, maka tidak ada hujanpun parit tersebut
selalu penuh genangan air. Ini konyol. Parit-parit
tersebut, yang di Jakarta dan hampir semua kota
di Indonesia panjangnya ribuan KM, selain tidak
pernah didisain berdasarkan hukum alam
sederhana tersebut di atas, seringkali juga
terhalang jaringan pipa bawah tanah yang
dibangun berbagai instansi tanpa koordinasi antar
instansi. Akibatnya, selain jadi sarang nyamuk dan
macam-macam penyakit, hujan sedikit saja air
meluap ke jalan.

Macet dan banjir adalah 2 masalah besar Jakarta
yang saling berkaitan dan masih jauh dari teratasi.
Kalau situasi di banyak tempat (tidak hanya di
Jakarta, tapi di banyak kota di seluruh Indonesia)
seperti ini lalu kita bermimpi sebuah kota bebas
banjir, itu sangat tidak logis.

Berapa milyar atau bahkan trilyun dibutuhkan
untuk mengubah parit tersebut agar benar secara
disain dan pelaksanaan?

Baru-baru ini Pak Jokowi melontarkan rencananya
untuk membangun gorong-gorong multi guna
raksasa (deep tunnel) berdiameter 16 meter
sepanjang 23 km mulai dari Cawang (Jakarta
Timur) s/d Pluit (Jakarta Utara).

Deep Tunnel ini diperkirakan menelan biaya 16
Triliun Rupiah. Tentu saja biaya ini tidak termasuk
pembangunan saluran di luar deep tunnel yang
alirannya akan dimasukkan ke gorong-gorong
tersebut, dan itu juga pasti amat besar.

Gagasan ini sepintas bagus karena berbagai
fasilitas yang ada di dalam gorong-gorong
tersebut. Yang penulis sangsikan adalah: Benarkah
saluran air limbah yang letaknya di bagian bawah
gorong-gorong (berarti berada di kedalaman
sekitar 18 m atau lebih di bawah tanah) masih
berada di atas permukaan air laut? Bagaimana jika
ternyata tidak? Mau dibuang kemana air limbah
tersebut? Maka, biarpun Pak Jokowi mengatakan
tidak perlu menguji lagi kecanggihan deep tunnel
yang sudah dibangun di Malaysia tersebut, ia tidak
boleh gegabah dengan kondisi fisik Jakarta yang
tentunya berbeda dengan Malaysia dan Negara
lainnya yang sudah menerapkan sistem ini.

Melanggar hukum alam sederhana yang saya
tuliskan di depan tulisan ini akan berakibat konyol. :D ;) :( :-) -_-

Selain masalah teknis, ada masalah non teknis
yang juga menjadi kendala besar untuk mengatasi
masalah semacam banjir dan macet, yaitu
masalah sikap mental yang seenaknya dan
cenderung kurang bertanggung-jawab dari warga
masyarakat serta koordinasi yang lemah di jajaran
birokrasi pemerintahan.

Coba saja lihat sungai-sungai kita, selalu penuh
sampah dan dalam banyak hal warga masyarakat
sulit diajak untuk bisa tertib, termasuk dalam soal
berkendara dengan motor atau mobil. Dalam
membangun fasilitas publik juga begitu, sering
satu instansi membangun sembari merusak
fasilitas lainnya, terutama jalan. Kalau
dibetulkanpun, kwalitasnya jauh dibawah standar
alias seadanya, padahal saya yakin dana untuk itu
ada, bahkan mungkin di mark up!

Seperti masalah parit di atas, misalnya, apa bisa
dibenahi kalau tidak melibatkan Kelurahan s/d RT
mulai dari pelaksanaan sampai pemeliharaan?

Bagaimana Pak/Bu RW/RT disuruh kerja kalau tidak
digaji?

Berapa lama dibutuhkan untuk mengubah sikap
manusia dari yang seenaknya menjadi tertib dan
bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar?
Bagaimana harus mengefektifkan kerja dalam
birokrasi pemerintahan yang sudah cenderung
tidak efisien, bertele-tele, super lelet dan korup?

Darimana harus mulai?

Tidak mungkin mengharapkan rakyat Indonesia
mulai tertib lebih dahulu dengan sendirinya. Maaf
ya, sikap seenaknya sendiri ini memang sudah
parah. Saya beri contoh di lingkungan kerja saya
sendiri.

Kebetulan saya cukup banyak bergaul dengan
para tukang bangunan saya. Ketika melongok ke
bedeng tempat menginap mereka, waduh…,
sungguh-sungguh lebih buruk dari kandang
kerbau. Sampah bekas makan, bekas minum,
bekas rokok, bekas sabun dan shampo, dan bekas-
bekas lainnya berceceran dimana-mana. Ketika
mereka sedang kerja, saya ambil sapu dan
bersihkan bedengnya. Melihat saya berbuat seperti
itu mereka kaget dan mulai menawarkan diri
untuk mengganti membersihkan. Lalu seperti
biasa saya berseloroh: “Kalian, untuk mengurus
bedeng sendiri saja butuh insinyur! Mana bisa
Negara mau maju?!” Mereka tertawa ngakak.

Seloroh saya itu sudah terkenal di lingkungan
tukang-tukang saya. Maksudnya bukan untuk
menyombongkan diri, tapi untuk mengajar agar
mereka belajar menyelesaikan sendiri masalah-
masalah yang kecil. Sudah dididikpun masih sulit
berubah, apalagi tanpa didikan yang terus
menerus.

Di luar sana sama saja. Pedagang kaki lima
berantakan semua, hunian kumuh berantakan
juga. Para politisi, birokrat dan pejabatnya rata-
rata sama saja, berantakan wataknya! Jadi, siapa
yang harus mulai lebih dahulu? Siapapun yang
punya posisi pimpinan dan punya rasa bela Negara
harus memulainya.

Jokowi-Ahok mampu? Saya harap! Negara ini
butuh teladan kepemimpinan. Jokowi - Ahok
dicintai rakyatnya, punya niat baik dan mau
berbuat, punya banyak aparat sampai ke tingkat
RT. Itu modal besar untuk membuat perubahan
kearah yang lebih baik untuk Jakarta khususnya
dan Indonesia pada umumnya. Kalau Pak Jokowi
dan Ahok lupa mendidik aparatnya secara terus-
menerus dan konsisten, mereka akan gagal
mengatasi banyak hal dengan mutu yang baik.

Perencanaan dan strategi pelaksanaan terpadu
adalah hal yang penting untuk diterapkan di
lapangan. Mengatasi banjir tidak mungkin dengan
perencanaan sepotong-sepotong dan pelaksanaan
asal jalan (membangun yang satu dan merusak
yang lain seperti yang selama ini terjadi). Semua
pihak sampai ke tingkat RT harus dilibatkan dan
harus dikoordinir secara terpadu sampai ke
masalah pemeliharaannya.

Soal sampah yang berceceran dimana-mana,
selain tugas dinas kebersihan bisa menjadi tugas
tambahan satpol PP. Dengan demikian satpol PP
tidak hanya bertugas mengobrak-abrik pedagang
kaki lima, tetapi juga membina mereka agar tertib
berdagang dan cara membuang sampah bekas
dagangan dengan benar. Kalau mereka bandel
dan sudah diberi teguran sampai 3 kali tetap
bandel ya silakan disikat, itu tidak salah. Satpol PP
juga bisa mengawasi masyarakat yang membuang
sampah sembarangan, baik di lingkungan maupun
dari dalam kendaraan.

Harus ada sangsi tiap kesalahan di lapangan, baik
untuk masyarakatnya maupun aparatnya. Coba
tengok Singapore, bisa tertib begitu kan karena
ketegasan berdisiplin dan sangsi (denda, hukuman
fisik, dll) untuk para pelanggarnya. Tanpa itu, mau
mengatur Jakarta tertib adalah mustahil. Aparat
payah, Negara juga payah.

Kreatifitas dan kecerdikan dalam perencanaan
juga sangat dibutuhkan, sehingga semakin banyak
orang bisa diselamatkan dari bencana banjir dan
sebaliknya malah mendapat rejeki dari pengaturan
alam yang dipikirkan dan dikelola dengan benar
dan bertanggung jawab.

Banjir di Jakarta sering dikaitkan dengan banjir
kiriman dari Bogor. Ada ide kratif dari Cina yang
bisa dijadikan contoh.

Tahun 277 Sebelum Masehi (jadi sudah hampir
2300 tahun yang lalu), Li Bing menjadi Gubernur
di wilayah Shu, Propinsi Sichuan, Cina Selatan,
sekitar 45 KM dari kota Chengdu yang sangat
terkenal itu. Li Bing menyaksikan bagaimana
rakyat sangat menderita karena bencana banjir
akibat luapan sungai Minjiang.

Li Bing, dibantu anaknya sendiri, Erlang,
melakukan pengamatan yang cermat untuk
mengatasi masalah besar tersebut. Ia akhirnya
melakukan langkah besar dan genius. Di sebuah
tempat yang tepat, ia membelah aliran sungai
besar Minjiang menjadi 2 aliran, aliran luar dan
aliran dalam. Cara membelahnya adalah
menimbun tengah sungai dengan bronjong batu
sehingga menjadi timbunan raksasa di tengah
aliran sungai. Timbunan tersebut bentuknya
menyerupai mulut ikan sehingga disebut “Yuzui /
fish mouth”.

Aliran luar adalah aliran deras yang membawa
banyak material sungai (pasir, batu2, dll),
sementara aliran dalam yang sengaja dipilih di
tempat yang lebih landai adalah aliran yang lebih
lambat arusnya sehingga juga relatif lebih bersih
airnya karena berkurangnya material sungai yang
sudah terbawa ke aliran luar yang lebih deras
arusnya.

Aliran dalam ini kemudian dialirkan ke wilayah-
wilayah gersang yang membutuhkan air untuk
pengairan sawah-sawah melalui kanal-kanal sempit
yang sengaja dibuat dengan cara membelah bukit
sehingga bentuknya menyerupai leher botol dan
disebut “Baopingkou”. Kelebihan air di aliran
dalam dibuang kembali ke aliran luar melalui pintu
air yang bisa diatur debitnya dan disebut
“Feishayan”. Dengan demikian aliran luar yang
deras tersebut bisa dikontrol debitnya sehingga
tidak lagi menyebabkan banjir di wilayah yang
dilaluinya. Pada musim hujan debitnya hanya
sekitar 40% dari debit keseluruhan sungai Minjiang
dan pada musim kemarau bisa diatur sampai
sekitar 60%nya. Proyek bendungan air dan sistem
irigasi tersebut dikenal dengan nama Dujiangyan.

Begitulah kerja besar Li Bing dan putranya telah
menyelamatkan dan memberi berkah jutaan orang
selama ribuan tahun. Sekarang wilayah tersebut,
bersama wilayah Chengdu, telah menjadi tempat
subur dan indah untuk rekreasi dan tentu saja
menjadi rejeki pemerintah dan rakyat China.

Saat ini Dujiangyan telah menjadi salah satu
warisan dunia yang dilindungi oleh Unesco.

Dujiangyan juga terbukti strukturnya kuat
menahan gempa besar yang meluluh-lantakkan
wilayah Chengdu pada tahun 2008 yang baru lalu.
Bagaimana setelah 2300 tahun berlalu wilayah
seperti Jakarta masih sering mengeluh soal banjir
kiriman dari Bogor? Apa kurang teknologi? Apa
kurang insinyur? Atau jangan-jangan selama ini tak
ada pemimpinnya? Cuma penampakan? Gawat…
Ketika sekitar 2 tahun yang lalu jalan utama di
Singapore, Orchad road, banjir, pemerintahnya
seperti kena tamparan keras dan malu. Mereka
segera bertindak cepat melakukan investigasi dan
perbaikan menyeluruh. Tapi sudah puluhan tahun
Jakarta timbul tenggelam, para pemimpinnya
enjoy aja. Terlalu! Kata capres Rhoma Irama.

Kalau masih kurang ide dari Li Bing, saya beri ide
lain. Buat saja danau buatan antara Bogor –
Jakarta untuk menampung luapan aliran air sungai
dari Bogor yang sering bikin Jakarta banjir. Buat
danaunya yang bagus sekalian agar juga bisa
dipakai sebagai tempat rekreasi. Dari danau
buatan tersebut, yang berfungsi seperti bak
penampung, air dapat dialirkan kemanapun
maunya sambil diatur debitnya melalui pintu-pintu
air. Bisa digunakan untuk pengairan sawah,
pembangkit listrik tenaga air, bikin air terjun
buatan yang cakep, dan macam-macam
kepentingan lainnya, Endapan pasirnya juga bisa
mendatangkan banyak rejeki.

Cara kerjanya kurang lebih sbb: kita tahu kalau
aliran sungai itu umumnya di tempat yang
rendah. Tetapi tidak berarti dasar sungai itu selalu
lebih rendah dari beberapa tempat di sekitarnya.

Masih ada tempat yang lebih rendah seperti
cekungan-cekungan gunung, gua-gua bawah
tanah, dll. Dengan teknologi yang ada sekarang
ini, kita bisa menyulap cekungan-cekungan dan
gua-gua bawah tanah tersebut menjadi danau-
danau buatan untuk menampung kelebihan debit
air sungai ketika musim hujan tiba.

Air di danau buatan ini, karena letaknya masih di
gunung, tentunya juga bisa dialirkan ke tempat
lain yang lebih rendah dengan cara membuat
aliran-aliran baru ke wilayah yang dikehendaki.
Kalau harus memotong bukit seperti yang
dilakukan Li Bing ya tidak masalah, selama tujuan
dan fungsinya memadai. Alam memang harus
ditata. Jangan lupa pula mengurus sampahnya,
namanya juga Indonesia!

Masih ada ide lagi, yaitu memasyarakatkan
penampungan air hujan di bagian atas bangunan.
Air hujan yang jatuh setelah beberapa menit turun
hujan bukanlah air kotor, tapi air bersih yang
mutunya barangkali jauh lebih baik dari
kebanyakan mutu air sumur dangkal di wilayah
Jakarta. Mengapa dibuang sia-sia? Kalau setiap
rumah mau menampung beberapa toren air hujan
sepanjang musim hujan, bisa dibayangkan berapa
juta liter air bersih yang bisa didapatkan secara
gratis hanya dalam beberapa jam? Selain
membantu mengurangi debit air yang tumpah ke
jalan juga menghemat pengeluaran untuk
keperluan air bersih, minimal untuk keperluan
menyiram tanaman, cuci pakaian, keperluan ke
WC, membersihkan lantai, dll-dll. Kalau kita terus
menerus menyedot air tanah, mungkin suatu saat
air tanah benar-benar habis dan kita semua
menderita.

Alam sudah memberi berlimpah. Tergantung
kepada manusia bagaimana memanfaatkan dan
mengelolanya. Ia bisa menjadi rejeki tapi
sebaliknya juga bisa jadi bencana. Ia bisa jadi
indah, tapi juga bisa mengerikan. Terserah kita.
Jangan menyalahkan alam atau mengeluh kepada
Tuhan sebelum kita berbuat maksimal untuk
mengatur berkahnya yang berlimpah ruah.

Selamat tahun baru dan hidup baru. Sis12.

___

Sumber : http://m.kompasiana.com/post/layanan-publik/2013/01/01/mampukah-jokowi-mengatasi-banjir-jakarta/

Mampukah Jokowi Mengatasi Banjir Jakarta?

Oleh: Sis12 | 01 January 2013 | 11:28 WIB

Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE
Follow @AdityaEmail_ 1

Old school Swatch Watches